Keluarga Dan Basis Kekuatan Ummat
Medan pertarungan utama antara Islam dengan jahiliyah adalah
pertarungan sosial, antara tatanan masyarakat Islam dengan tatanan
sosial jahiliyah. Kedua fenomena ini bertolak belakang, yang satu
dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, Syariat Islam dan akhlaqul
karimah, sementara yang lain dibangun di atas pondasi cinta dunia dan
hamba nafsu.
Keluarga memiliki peran kunci dalam membangun tatanan masyarakat
Islami. Satuan sosial terkecil yang membentuk masyarakat adalah
keluarga. Oleh karenanya, keluarga harus menjadi fokus garapan untuk
menjadi bahan baku membentuk masyarakat Islami. Masyarakat yang
menyadari perannya sebagai barisan pasukan yang berhadap-hadapan dengan
barisan prajurit sosial jahiliyah.
Ada Perintah di balik Keluarga
Allah swt berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً
وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (21)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini menjelaskan sunnatullah bahwa seorang pria ditaqdirkan Allah
memerlukan wanita sebagai pasangan hidup agar si pria terjinakkan
nafsunya dengan pasangan halal tersebut. Selain itu juga naluri cinta
(mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) bisa disalurkan dengan panduan
syariat Allah. Kenyataan yang tak bisa ditolak manusia ini merupakan
salah satu “ayat-ayat kauniyah” (tanda-tanda kekuasaan Allah), sama
dengan tanda kekuasaan yang lain seperti hukum alam tentang peredaran
siang malam, matahari bulan, kehidupan kematian, dan sebagainya.
Padahal kita tahu, di balik tanda-tanda kekuasaan Allah, ada perintah
syariat yang menyertainya. Di balik peredaran siang malam, ada perintah
sholat lima waktu. Di balik fenomena fajar, ada perintah sholat Shubuh.
Di balik fenomena tengglamnya matahari, terdapat perintah sholat
Maghrib. Demikian halnya, hubungan menyatu antara pria dan wanita karena
terpuaskannya syahwat, terjalinnya cinta dan terpeliharanya kasih
sayang, harus dijadikan tanda untuk sebuah perintah di baliknya.
Jika keluarga yang dibangun seorang muslim hanya dalam rangka
menghasilkan sakinah, mawaddah wa rahmah, maka keluarga tersebut baru
melaksanakan kehendak kauniyah (hukum alam) Allah. Adapun kehendak
syar’iyyah (hukum kalam) Allah belum dilaksanakan. Jika demikian, tujuan
pernikahan menjadi sangat simpel, sekedar menghalalkan saluran syahwat,
hubungan cinta dan kasih sayang antara dua orang manusia yang boleh
jadi sudah terjalin lama sebelum menikah melalui pacaran.
Keluarga Jahiliyah
Keluarga yang dibangun melalui ikatan pernikahan dalam konsepsi
Jahiliyah sangat sederhana. Pernikahan hanya sebuah momentum pengumuman
kepada khalayak bahwa kedua manusia tersebut saling memiliki. Pria
memiliki wanita dan wanita memiliki pria. Bahkan di Barat pengumuman
kepemilikan ini diperluas, menjadi pria boleh memiliki pria dan wanita
boleh memiliki wanita. Mengapa ? Karena dalam konsepsi Jahiliyah, cinta
adalah segalanya. Bila seorang pria mencintai pria yang lain, ia berhak
melegalkannya dan mengumumkannya dalam ikatan pernikahan, untuk
mendapatkan sakinah wawaddah wa rahmah.
Kepemilikan yang dimaksud dalam pernikahan Jahiliyah hanya
kepemilikan untuk menyalurkan syahwat. Adapun aurat, itu bukan termasuk
kepemilikan, oleh karenanya boleh laki-laki bukan suaminya untuk melihat
aurat. Bahkan, semakin keseksian dan aurat istrinya dikagumi banyak
mata, sang suami makin bangga. Alam pikiran Jahiliyah yang sudah menular
sebagiannya kepada umat Islam.
Dalam mengelola aset keluarga berupa anak-anak, keluarga Jahiliyah
juga tak memiliki konsep yang jelas. Dengan aqidah Liberalisme dan
Pluralisme, anak-anak dibebaskan memilih kesukaannya, tak ada konsep
benar dan salah. Semua baik bagi anak-anak sepanjang membuat masa depan
mereka cerah dalam percaturan dunia.
Bila kita sepakat dengan ciri-ciri keluarga Jahiliyah tersebut, maka
kita berhak miris. Kaum muda Umat Islam makin banyak yang tak lagi
peduli dengan tujuan mulia dibangunnya keluarga. Pernikahan hanya
menjadi upacara hambar di ujung sebuah jalan panjang bernama pacaran
bahkan “kecelakaan”.
Keluarga Dakwah, Bukan Hanya Keluarga Samara
Pernikahan untuk membangun keluarga adalah sebuah tanda alam,
sunnatullah kauniyah, seperti tanda alam lain. Pernikahan – baik
dilakukan muslim maupun kafir – bertujuan melanggengkan sakinah,
mawaddah dan rahmah (samara). Fakta membuktikan, banyak pasangan non
muslim yang pernikahannya harmonis hingga puluhan tahun, saling cinta,
setia dan kasih sayang sampai ajal. Artinya, samara bukan monopoli
muslim, karena memang hanya sebuah tanda kekuasaan Allah yang terjadi
secara umum.
Jadi yang khas pada pernikahan muslim bukan pada samara-nya, tapi
pada perintah syariat di balik samara tersebut, apa peran keluarga
muslim dalam ikut mendakwahkan dan membela Islam. Ada banyak syariat
yang mutlak membutuhkan keluarga samara dalam pelaksanaannya. Ada
dakwah, amar makruf nahi munkar, sedekah, pendidikan Islam, bahkan jihad
fi sabilillah. Syekh Rifai Surur meringkasnya dengan istilah Keluarga
Dakwah, keluarga yang tercelup dengan nafas dakwah dan bergerak dengan
spirit dakwah.
Bahkan, dinamika dan lika-liku perjalanan dakwah yang diemban
keluarga, bisa menjadi batu ujian yang sangat ideal untuk cinta dan
kesetiaan pasangan. Demikian pula sebaliknya, di tengah dinamika cinta
dan kesetian keluarga, bisa dilakukan ibadah dan pengabdian kepada
Allah. Di tangan keluarga dakwah, resiko dakwah justru menguatkan samara
dan sebaliknya samara menjadi media melaksanakan dakwah.
Nabi Ibrahim as setelah menikah dengan Hajar dan dikaruniai anak,
Sarah cemburu dengan meminta Ibrahim as menyingkirkan jauh-jauh Hajar
dari pandangannya. Ini adalah dinamika samara dalam keluarga. Tapi
uniknya, sambil memberi solusi atas dinamika keluarga ini, Ibrahim as
diperintahkan oleh Allah untuk menempatkan Hajar dan putranya di Mekah,
lembah kering di tengah padang pasir jauh dari kediaman Sarah. Satu
pekerjaan untuk dua tujuan; solusi masalah rumah tangga, sekaligus
pelaksanaan perintah Allah. Indah sekali !
Dari kisah ini dapat ditarik pelajaran: laksanakan dakwah, niscaya
Allah akan berikan solusi masalah rumah tangga kita, seperti Allah
memberi solusi masalah rumah tangga Ibrahim ! Sebaliknya, abaikan
dakwah, niscaya kita hanya akan disibukkan dengan urusan rumah tangga
karena tak ada “jalan keluar langit’ yang tersedia. wallahu a’lam bis-showaab.
0 komentar:
Posting Komentar