Perang Ilmu dan Dakwah Untuk Kemenangan Islam
Semua aktifis muslim sepakat bahwa Islam harus diperjuangkan hingga
menang di bumi Allah manapun, termasuk nusantara. Kemenangan Islam
menjadi tujuan terjauh dari semua usaha memperjuangkan Islam, dan
menjadi agenda bersama yang akan menyatukan langkah dan barisan para
aktifis.

Kerjasama yang paling ideal adalah melebur dalam satu kepemimpinan
dengan organisasi yang solid, karena dengan demikian produktifitas makin
meningkat dan rivalitas bisa diminimalisir. Hanya saja impian ideal ini
secara realita nyaris mustahil diwujudkan, salah satunya karena belum
lahir saling percaya sesama aktifis dengan kualitas dan kapasitas
kawannya.
Ketika kondisi ideal dan menjadi impian ini nyaris mustahil
diwujudkan, kita harus realistis untuk menerima kenyataan bahwa maksimal
yang bisa kita lakukan adalah memperbanyak silaturrahmi untuk saling
sapa, saling tukar info, lalu lahir saling memahami, lalu saling cinta,
lalu saling dukung, lalu sinergi bahkan kolaborasi.
Dakwah, Jurus saat Damai
Dalam memenangkan Islam ada adagium: dalam damai, senjatanya dakwah,
dalam konflik senjatanya jihad. Jujur, situasi dan kondisi sosial
kemasyarakatan di nusantara saat ini adalah damai. Di tengah 250 juta
warga, jika terjadi bentrok sana sini secara sporadis, itu masih dalam
kadar yang wajar. Di manakah ada sekumpulan manusia tanpa konflik, tanpa
ada kasus pembunuhan, bentrok antar kelompok, perampoka, bombing dan
sebagainya? Selagi masih di planet bumi, konflik adalah bumbu kehidupan
yang niscaya. Maknanya, kesimpulan umum kita adalah bahwa nusantara
negeri damai, bukan negeri yang sedang konflik.
Keberanian mengakui bahwa nusantara adalah negeri damai, ternyata tak
semudah yang kita bayangkan. Sebab banyak aktifis yang
dilatar-belakangi semangatnya yang tinggi untuk memenangkan Islam,
memaksakan diri untuk menyebut nusantara adalah negeri konflik dan
chaos, layaknya di Suriah, Irak, Afghanistan, Yaman, Somalia dan
lain-lain. Dengan persepsi ini, maka para aktifis tersebut merasa sedang
di medan jihad, yang karenanya bahasa yang dia gunakan untuk
memenangkan Islam di nusantara selalu bahasa jihad. Seperti tak sadar,
ada bahasa dakwah dan ilmu.
Jujur kita mengakui, saat ini sedang terjadi perang yang amat dahsyat
di nusantara, tapi bukan perang fisik, tapi perang ilmu dan dakwah.
Perang ini makin menggila pasca reformasi dan jaminan kebebasan
berpendapat bagi seluruh masyarakat. Apalagi didukung dengan realita
adanya belantara internet, yang makin menjamin setiap ide, pikiran,
pendapat, propaganda, provokasi, kritik, iklan, curhat dan segala tetek
bengek yang keluar dari pikiran dan hati manusia dapat dicurahkan di
belantara internet. Setiap orang punya peluang berbicara, berpendapat,
menulis, membantah, bahkan menghujat. Di alam nyata dijamin kebebasan
berbicara, di alam maya lebih bebas lagi.
Aliran sesat semacam Syiah, Ahmadiah, LDII dan sebagainya,
memanfaatkan medan perang ini untuk bertarung habis-habisan. Demikian
juga Demokrasi dan nasionalisme juga dengan gencar dipromosikan. Oleh
karenanya, pihak pengusung kebenaran juga harus menjadikan alam damai
ini sebagai medan peperangan. Senjatanya adalah ilmu dan dakwah.
Kekalahan Perang Ilmu dan Dakwah, Berdampak Kekalahan Perang Jihad
Jika para aktifis lari dari perang ilmu dan dakwah, panggung akan
didominasi oleh “du’at ‘ala abwabi jahannam man ajabahum ilaiha
qodzafuuhu fieha” (para perayu di pintu jahannam, siapa yang tergoda dengan tawarannya akan dicampakkan di jahannam). Kekhawatiran ini harus lahir sebagai cerminan rencana jangka panjang pemenangan Islam.
Kegagalan memunculkan kekhawatiran ini pada diri aktifis disebabkan
oleh banyak kemungkinan, yang terpenting, karena tak sabar menekuni
perang ilmu dan dakwah, obsesinya hanya benturan fisik. Sebab yang lain,
karena tidak paham bahwa senjata bernama ilmu dan dakwah adalah senjata
yang sangat mematikan.
Jika menggunakan doktrik Tsun Tsu, seorang pakar strategi perang asal
Tiongkok, bahwa siapa yang menguasai ground (medan), ia akan
memenangkan peperangan. Dalam konteks perang fisik, memang benar yang
dimaksud ground (medan) adalah medan tempur berupa topografi, sungai,
parit, gunung, lembah, peta jalan, sumber air, cuaca, angin dan
sebagainya. Tapi dalam konteks perang ilmu dan dakwah, groung (medan)
yang menjadi ajang peperangan adalah hati dan pikiran masyarakat. Bahasa
modern menyebutnya opini.
Siapa yang bisa mengendalikan hati dan pikiran masyarakat, ia akan
didukung masyarakat, dibela dan dilindungi oleh mereka. Dan ini adalah
investasi kemenangan jihad jika suatu saat terjadi demi kemerdekaan
Islam yang utuh. Dalam ilmu perang, ini disebut dengan kekuatan
territorial. Setiap prajurit di semua angkatan pasti mendapat pelatihan
dan bekal pengetahuan bagaimana membangun kekuatan territorial demi
menunjang kemenangan fisik.
Siapa Pengendali Hati dan Pikiran Umat Islam Nusantara ?
Pertanyaan ini mesti dapat kita jawab dengan jujur. Bahwa hati dan
pikiran umat Islam masih dikendalikan oleh kalangan yang anti Islam,
phobi Islam, atau minimal tidak punya keinginan memenangkan Islam. Hati
dan pikiran umat Islam masih dikuasai jargon politik kepartaian,
nasionalisme, Demokrasi, Islam budayal, dan obsesi dunia.
Harusnya, hati dan pikiran umat Islam dikendalikan para aktifis
Islam, karena kesamaan rasa, persepsi, keyakinan, dan cita-cita. Ketika
hati dan pikiran mereka dikendalikan musuh Islam, menjadi bukti
kegagalan para aktifis dalam membangun teritorial dengan dakwah dan
ilmu.
Artinya, para aktifis harus sadar, bahwa ground alias kekuatan
territorial yang akan menentukan kemenangan Islam masih dikuasai pihak
yang tidak pro Islam. Jika kenyataannya demikian, jelas usaha
memenangkan Islam masih sangat jauh dari harapan. Jalan masih sangat
panjang. Membutuhkan stamina jangka panjang dan kesabaran ekstra.
Para aktifis tidak bisa memaksakan kehendak untuk membalikkan situasi
damai yang menjadi medan ilmu dan dakwah ini, menjadi situasi kacau
yang akan berobah menjadi medan jihad. Kalaupun berhasil melakukannya,
apalah arti keberhasilan itu, jika hati dan pikiran umat Islam masih
dikendalikan kekuatan yang anti Islam. Pembalikan situasi ini justru
akan menjadi boomerang. Ini juga hikmah, mengapa Nabi Muhammad saw
melarang para aktifis (umat Islam) untuk berharap ketemu musuh dalam
medan perang, tapi jika Allah taqdirkan ketemu, harus teguh dan sabar.
Ilmu dan Dakwah untuk Kekuatan Teritorial bagi Kemerdekaan Islam
Islam dibangun di atas landasan ilmu dan kebenaran yang kokoh. Naluri
manusia suka dengan ilmu dan kebenaran. Ilmu dan kebenaran akan
melahirkan keyakinan dan keteguhan prinsip. Semua film baik yang digarap
oleh sutradara muslim maupun non-muslim, semua endingnya akan
memenangkan kebenaran dan ilmu, meski didramatisir sedemikian rupa agar
sang lakon kalah di awal cerita tapi ia akan menang di akhir cerita.
Islam memiliki semua yang dibutuhkan manusia berupa ilmu dan
kebenaran itu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu tentang jalan hidup (way
of life), ilmu tentang konsep penghambaan kepada Allah, ilmu tentang
tata cara pelaksanaan ibadah kepada Allah dan segala pernik yang akan
menjadi tuntunan hidup manusia. Ilmu ini juga terbukti selaras dengan
ilmu alam dan sunnatullah kehidupan. Ilmu ini terangkum dalam dua pusaka
umat Islam bernama Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Landasan ilmu ini akan melahirkan keyakinan akan kebenaran atas
sesuatu yang dipahami manusia. Keyakinan bahwa apa yang dipahami adalah
hal yang benar, akan melahirkan keyakinan dan keteguhan prinsip. Ia akan
menjadi orang yang tidak mudah goyah oleh berbagai godaan dan
iming-iming kehidupan dunia.
Alat untuk memasukkan ilmu dan kebenaran ke hati dan pikiran
masyarakat adalah dakwah. Dengan melakukan dakwah yang dilandasi ilmu
yang valid, semua kepalsuan, kemunafikan dan kesesatan akan bisa
dibersihkan dari hati dan pikiran umat Islam. Dakwah yang benar dengan
dilandasi ilmu yang valid akan menggeser para jago gombal yang suka
membual di tengah umat Islam dengan tawaran-tawaran dunia, politik,
kekuasaan, syahwat, sentiment jahiliyah dan semua buih yang lain.
Mengoptimalkan penyebaran ilmu (nasyrul ilmi) dan dakwah (nasyrul
haqq) akan menghasilkan buah berupa masyarakat yang cinta Islam, cinta
Allah, cinta Rasulullah saw, cinta Sahabat radhiyallahu anhum, dan pada
gilirannya juga akan cinta para aktifis Islam. Mereka akan siap
membantu, mendukung dan membela perjuangan para aktifis dalam
memerdekakan Islam. Bahkan dukungan ini akan lahir secara refleks tanpa
diminta.
Bayangkan, para aktifis Islam yang umumnya hidup sederhana – untuk
tidak mengatakan miskin – dalam usahanya memerdekakan Islam di nusantara
didukung oleh ratusan juta umat Islam. Siapa yang bisa mengalahkan
kekuatan masyarakat jika mereka sudah tergerak hatinya membela Islam dan
para aktifis muslim?
Oleh karenanya, ketulusan usaha kita dalam mengajarkan ilmu-ilmu
keislaman dan mendakwahkannya di tengah umat Islam, akan sebanding
dengan ketulusan umat Islam dalam membela para aktifis. Jika kita
dakwahnya setengah hati, mereka juga akan membela setengah hati. Jika
dakwah kita kepada mereka disertai pamrih duniawi (harta, politik,
kekuasaan, gengsi, sekedar mencari pengikut, dsb) maka mereka kelak
hanya mau membela para aktifis dengan kalkulasi untung rugi juga.
Dakwah Gombal, Senjata Musuh Islam untuk Mengalahkan Islam
Allah swt memberikan informasi bahwa kaum kafir dan pembenci Islam
menjadikan dakwah gombal sebagai senjata mengalahkan Islam. Simak ayat
berikut:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (8)
Mereka – musuh-musuh Islam – bermaksud memadamkan cahaya Allah
dengan mulut-mulut mereka, sedangkan Allah akan menyempurnakan
cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. (QS. As-Shoff (61) :
8)
Cermati ayat di atas, salah satu senjata andalan kaum kafir untuk
memadamkan cahaya Allah – Islam – adalah dengan mulut, alias bualan,
alias gombal. Menyadari sebagai senjata utama, mereka serius mengasah
diri sehingga terampil betul dalam menggunakan mulut mereka untuk
mengalahkan Islam. Di jaman modern, perwujudannya tentu bukan hanya
ucapan dari mulut orang kafir, tapi juga berupa tulisan, berita yang
disesatkan, opini, video, gambar, surat kabar, buku, majalah, jurnal,
disertasi dan sebagainya.
Mereka percaya diri menggunakan kekuatan bualan yang jelas
bertentangan dengan naluri manusia karena berupa isu, hasutan,
kebohongan, penyesatan opini, dan semuanya lemah secara landasan ilmu.
Berarti, sebetulnya senjata mereka ini rapuh, dan para aktifis Islam
punya peluang besar untuk mengalahkannya.
Jadi masalahnya bukan pada keunggulan senjata ilmu yang dimiliki
aktifis, tapi pada itikad para aktifis untuk mengasah senjata ilmu dan
dakwah ini untuk membangun kekuatan territorial dan menyingkirkan buih
gombal yang dijajakan kekuatan anti Islam. Problem kita sejatinya factor
internal, bukan factor eksternal. Kalaupun pihak eksternal mengalahkan
kita, bukan karena kekuatan senjatanya, tapi kita yang belum menggunakan
senjata kita sendiri dengan benar. wallahu a’lam bisshowab.
0 komentar:
Posting Komentar