Adab dalam menuntut ilmu adalah perkara yang sangat penting, maka dari
itu para ulama senantiasa memperhatikan adab-adab tersebut.
Berikut adalah sambungan dari artikel
Keutamaan dan Adab Menuntut Ilmu -1 [Hilyah Tholibil ‘Ilmi] yang membahas tentang adab dan hal-hal yang harus di hindari oleh seorang penuntut ilmu
Suatu ketika
Imam Laits Bin Sa’ad melihat para penuntut hadits,
kemudian beliau melihat ada kekurangan dalam adab mereka, maka beliau
berkata: “Apa ini!, sungguh belajar adab walaupun sedikit lebih kalian
butuhkan dari pada kalian belajar banyak ilmu". (Al-Jami’:1/405)
Imam Adz-Dzahabi berkata: “Penuntut ilmu yang datang di majelis
imam Ahmad lima ribu orang atau lebih, lima ratus menulis hadits,
sedangkan sisanya duduk untuk mempelajari akhlaq dan adab beliau”.
(Siyar A’lamun Nubala’:11/316)
Berkata
Abu Bakar Bin Al-Muthowi’i: “Saya keluar masuk di rumah
Abu Abdillah (Imam Ahmad Bin Hambal) selama 12 tahun sedangkan beliau
sedang membacakan kitab Musnad kepada anak-anaknya. Dan selama itu saya
tidak pernah menulis satu hadits pun dari beliau, hal ini disebabkan
karena saya datang hanya untuk belajar akhlaq dan adab beliau”. (Siyar
A‘lamun Nubala’:11/316)
Berkata
Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri -
rahimahullah-:
“Mereka dulu tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu
hingga mereka belajar adab dan dididik ibadah hingga 20 tahun”.
(Hilyatul-Aulia Abu Nuaim 6/361)
Berkatalah
Abdullah bin Mubarak -
rahimahullah-: “Aku
mempelajari adab 30 tahun dan belajar ilmu 20 tahun, dan mereka dulu
mempelajari adab terlebih dahulu baru kemudian mempelajari ilmu”.
(Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro 1/446)
Dan beliau juga berkata: “Hampir-hampir adab menimbangi 2/3 ilmu”. (Sifatus-shofwah Ibnul-Jauzi 4/120)
Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sanadnya kepada
Malik bin Anas, dia berkata bahwa
Muhammad bin Sirrin berkata (-
rahimahullah-): “Mereka dahulu mempelajari adab seperti mempelajari ilmu”. (Hilyah: 17. Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/49)
Berkata
Abullah bin Mubarak: “Berkata kepadaku
Makhlad bin Husain -
rahimahullah-:
“Kami lebih butuh kepada adab walaupun sedikit daripada hadits walaupun
banyak”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Mengapa demikian ucapan para ulama tentang adab? Tentunya karena ilmu
yang masuk kepada seseorang yang memiliki adab yang baik akan bermafaat
baginya dan kaum muslimin.
Berkata
Abu Zakariya Yaha bin Muhammad Al-Anbari -
rahimahullah-:
“Ilmu tanpa adab seperti api tanda kayu bakar sedangkan adab tanpa ilmu
seperti jasad tanpa ruh”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Adab menuntut ilmu sangat banyak, diantaranya yang paling penting adalah:
1. Menuntut ilmu adalah ibadah.
Dan ibadah tidak akan diterima oleh Allah kecuali dengan dua syarat:
A. Ikhlas karena untuk mencari ridho Allah ta’ala.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan semua agama kepadaNya(Al-Bayyinah:5)
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إنما الأعمال بالنيات وإنما
لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي الله ورسوله فهجرته الي الله ورسوله
ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلي ما هاجر إليه
“
Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap
orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya.
Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang
hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang
ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia
inginkan.” (HR. Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab
al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah,
hadits no. 1907])
Maka ketika Al-Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan firman Allah
‘Azza wa Jalla:
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“
…untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Beliau berkata, “Yakni, yang paling ikhlas dan paling benar.
Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan
diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan
diterima. Jadi harus ikhlas dan benar.
Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullah
sholallohu’alaihi wasallam.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam I/36).
Ikhlas ini mahal dan berat, makanya para sahabat dahulu berusaha
bagaimana supaya ikhlas. Maka sebagaimana perkataan Imam Ats-sauri
:”tidak ada yang lebih sulit bagi diriku kecuali niatku” (mengikhlaskan
niat).
Kalaulah imam yang besar seperti imam ats-sauri mengeluh atas susahnya ikhlas lalu bagaimana dengan kita-kita yang awam?
Sampai menuntut ilmu saja kalau tidak karena mengharapkan ganjaran Alloh
‘azza wa jalla, tidak akan mencium bau surga sebagaimana hadits dari Abu Hurairoh Rasulullah
sholallohu’alaihi wasallam bersabda :
"
Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk
mencari wajah Allah 'Azza wa Jalla tetapi dia justru berniat untuk
meraih bagian kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada
hari kiamat" (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Hakim)
Amal kebaikan yang tidak terdapat keikhlasan di dalamnya hanya akan
menghasilkan kesia-siaan belaka. Bahkan bukan hanya itu, ingatkah kita
akan sebuah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa tiga orang yang akan
masuk neraka terlebih dahulu adalah orang-orang yang beramal kebaikan
namun bukan karena Allah?
Ya, sebuah amal yang tidak dilakukan ikhlas karena Allah bukan hanya
tidak dibalas apa-apa, bahkan Allah akan mengazab orang tersebut, karena
sesungguhnya amalan yang dilakukan bukan karena Allah termasuk
perbuatan kesyirikan yang tak terampuni dosanya kecuali jika ia
bertaubat darinya, Allah berfirman yang artinya,
“
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh
ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa : 48)
Imam Adzahabi dalam kitabnya Kitab Siyar A'lam An-Nubala (Perjalanan
Hidup Orang-orang Mulia) menceritakan Seorang yang alim yang mengatakan “
aku belum pernah mengatakan aku menuntut ilmu ini semata-mata karena
Alloh”, karena takutnya akan jatuh ria. Dan beliau Azahabi berkomentar
‘Wallohi wala anaa’. Demi Alloh, aku pun juga demikian…
Hal ini menggambarkan akan beratnya para ulama berusaha untuk berbuat ikhlas.
Dalam Hadits Qudsi :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
” قَالَ اللَّهُ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ؛ مَنْ
عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي(*)، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ”.
(رواه مسلم (وكذلك ابن ماجه
Diriwayatkan dari Abi Hurairah radiyallohu’anhu, beliau berkata,
Telah bersabda Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam, “Telah berfirman
Allah tabaraka wa ta’ala (Yang Maha Suci dan Maha Luhur), Aku adalah
Dzat Yang Maha Mandiri, Yang Paling tidak membutuhkan sekutu; Barang
siapa beramal sebuah amal menyekutukan Aku dalam amalan itu(*), maka Aku
meninggalkannya dan sekutunya”
Diriwayatkan oleh Muslim (dan begitu juga oleh Ibnu Majah). *). Adalah
juga termasuk syirik jika seseorang beramal dengan amalan disamping
ditujukan kepada Allah
Subhanahu wa Taála juga ditujukan kepada yang selain-Nya.
Maka Ikhlas merupakan asas dalam beramal. Seorang hamba akan terus
berusaha untuk melawan iblis dan bala tentaranya hingga ia bertemu
dengan Sang Khalik kelak dalam keadaan iman dan mengikhlaskan seluruh
amal perbuatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk
mengetahui hal-hal apa sajakah yang dapat membantu kita agar dapat
mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kita kepada Allah semata, dan di
antara hal-hal tersebut adalah dengan banyak berdo’a.
Lihatlah Nabi kita Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah doa:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا،وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“
Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima.”
(HR Ibnu As-Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, no. 54, dan Ibnu Majah
n0. 925. Isnadnya hasan menurut Abdul Qadir dan Syu’aib al-Arna’uth
dalam taqiq Zad Al-Maad 2/375).
B. Mutaba’ah (Mengikuti petunjuk Rosulillah).
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ
اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah (wahai Muhammad) jika kalian mencintai Allah maka ikutilah
aku niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian. (Ali ‘Imron:31)
Rosulullah bersabda : “
Barangsiapa mengamalkan suatu amalan tanpa petunjuk kami maka amalan tersebut tertolak”. (H.R Muslim)
2. Berjalan diatas metode para Ulama Salaf (Ahlus Sunah Wal Jama’ah)
Muhamad Bin Sirin berkata : “Sesungguhnya ilmu adalah agama maka
lihatlah dari mana kalian mengambil agama kalian”. (Muqodimah Shohih
Muslim:1/14)
Beliau juga berkata : “Dahulu para ulama sahabat tidak pernah bertanya
tentang Sanad (tali rantai para Rowi), dan ketika terjadi fitnah (wafat
Utsman) maka mereka bertanya: ‘Siapa Rowi-Rowi kalian?’. Maka dilihat,
jika Rowinya seorang Ahlus Sunah maka mereka akan mengambil haditsnya,
dan jika rowinya Ahlul Bid’ah maka mereka menolak haditsnya”. (Modimah
Shohih Muslim:1/15)
3. Hati-hati dalam memilih pengajar dan guru.
Imam Malik Bin Anas berkata: “Tidak boleh mengambil ilmu dari
empat orang: Orang yang bodoh walaupun hafalannya banyak (bagaikan orang
yang berilmu), Ahlil bid’ah yang menyeru kepada kesesatannya, Orang
yang terbiasa berdusta ketika berbicara dengan manusia walaupun dia
tidak berdusta ketika menyampaikan ilmunya, dan Orang yang sholeh, mulia
dan rajin beribadah jika dia tidak hafal (dan faham) apa yang akan
disampaikan”. (Siyar ‘Alamun Nubala’:8/61)
Imam Al-Khotib Al-Baghdadi berkata: “Seyogyanya bagi para
penuntut ilmu untuk belajar kepada ulama’ yang ma’ruf akan agama dan
amanahnya”. (Al-Faqif Wal Mutafaqqif:2/96)
4. Menghiasi diri dengan Taqwa, Takut dan Muroqobah (merasa dalam awasan Allah).
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا
وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ ذُو
الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian bertaqwa kepada
Allah maka niscaya Allah akan memberikan kepada kalian Furqon (ilmu
sebagai pembeda) dan juga Allah akan hapuskan dosa-dosa kalian. (Al-Anfal:29)
Imam Ahmad berkata: “Pondasi ilmu agama adalah perasaan takut kepada Allah”. (Hilyah:13)
5. Mengamalkan ilmu yang telah dipelajari sekuat tenaga.
Hal ini sangat penting karena ilmu syar’i yang telah dipelajari adalah
untuk diamalkan, bukan sekedar untuk dihafalkan. Para ulama menasehati
kita bahwa menghafal ilmu dengan cara mengamalkannya. Hendaklah seorang
penuntut ilmu mencurahkan perhatiannya untuk menghafalkan ilmu syar’i
ini dengan mengamalkannya dan ittiba’. Sebagian Salaf mengatakan, “Kami
biasa memohon bantuan dalam menghafalkan ilmu dengan cara
mengamalkannya.”
[Lihat kitab Miftaah Daaris Sa’aadah (1/344) dan lqtidha’ al-’llmi al-’Amal (no. 149).]
Menuntut ilmu syar’i bukanlah tujuan akhir, tetapi sebagai pengantar
kepada tujuan yang agung, yaitu adanya rasa takut kepada Allah, merasa
diawasi oleh-Nya, takwa kepada-Nya, dan mengamalkan tuntutan dari ilmu
tersebut. Dengan demikian, maka siapa saja yang menuntut ilmu bukan
untuk diamalkan, niscaya ia diharamkan dari keberkahan ilmu,
kemuliaannya, dan ganjaran pahalanya yang besar.
[Kaifa Tatahammas li Thalabil ‘Ilmi Syar’i (hal. 74),]
Allah Ta’ ala berfirman:
“
Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…” (QS. At-Taubah: 105)
Dan Surga diwariskan bagi orang yang mengamalkan Islam dengan benar, sebagaimana firman-Nya:
“
Dan itulah Surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf: 72)
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti agar kita mengamalkan ilmu yang sudah diketahui (dipelajari), beliau bersabda,
“
Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat
hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan; tentang
ilmunya, apa yang telah diamalkan; tentang hartanya darimana ia peroleh
dan ke mana ia habiskan; dan tentang tubuhnya-capek dan’ letihnya-untuk
apa ia habiskan.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2417), dari Shahabat Abu Barzah Nadhlah bin ‘Ubaid al-Aslami
radhiyallaahu ‘anhu, At-Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan shahih, lihat Ash-Shohihah no:946"]
6. Sabar dalam menuntutnya.
Imam Yahya Bin Abi Katsir berkata : “Ilmu tidak diperoleh dengan jiwa yang enak (santai)”. ( Al-Jami’ : 1/91)
Imam As-Syafi’I berkata: “Seseorang Tidak akan sampai pada ilmu
ini sampai ia ditimpa kefakiran (kemiskinan), dan kefaqiran tersebut
lebih ia utamakan dari pada yang lainnya”. (Siyar:10/89)
Imam Abu Ahmad Nasr Bin Ahmad Bin Abbas Al-‘Iyadhi berkata:
“Tidak akan memperoleh ilmu ini kecuali orang yang menutup warungnya,
menghancurkan sawahnya, meninggalkan teman-temannya, dan meninggal dunia
(wafat) salah satu diantara keluarganya tetapi ia tidak bisa menghadiri
jenazahnya”. (Al-Jami’ Li Adabir Rowi no:1571)
7. Hendaknya menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia.
Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata : “Sesungguhnya seseorang jika menuntut
ilmu, maka tidaklah berjalan beberapa waktu kecuali akan nampak pengaruh
ilmu tersebut pada khusyu’nya, mata, lisan, tangan, sholat, dan
zuhudnya”. (Al-Jami’:1/60)
Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As-Sa’di berkata: “Dan perkara yang harus
ada pada orang yang berilmu adalah menghiasi dirinya dengan kandungan
ilmu yang ia pelajari dari akhlaq yang mulia, mengamalkan ilmunya dan
menyebarkannya kepada manusia. Orang yang berilmu adalah orang yang
paling berhaq untuk menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia dan
menjauhi dari akhlaq yang tidak baik, dia juga merupakan orang yang
paling berhaq untuk mengamalkan kewajiban baik yang dhohir maupun yang
batin dan menjauhi perkara yang haram, hal ini disebabkan karena mereka
memiliki ilmu dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh orang lain,
mereka adalah Qudwah (sori tauladan) bagi manusia dan manusia akan
mengikuti mereka, dan juga dikarenakan mereka akan mendapatkan celaan
lebih banyak ketika mereka tidak mengamalkan ilmunya dari pada orang
yang tidak berilmu.
Dan sesungguhnya ulama-ulama salaf senantiasa menjadikan amal sebagai
alat untuk menghafal ilmu, karena ilmu jika diamalkan maka akan kokoh
dan dihafal, demikian juga akan semakin bertambah dan banyak barokahnya.
Akan tetapi jika ilmu tidak diamalkan maka ia akan pergi dan barokahnya
akan hilang. Maka ruh kehidupan ilmu adalah pengamalannya baik dengan
akhlaq, mengajarkan, ataupun berda’wah”. (‘Awa’iqut Tholab:90 karya
Syaikh Abdus Salam Bin Barjas)
8. Senantiasa meningkatkan semangat dalam menuntut ilmu.
Imam Ibnul Jauzi berkata: “Selayaknya bagi orang yang berakal
untuk mencurahkan semua kemampuan dia (dalam menggapai cita-cita). Jika
seandainya manusia mampu naik ke langit, maka kamu akan melihat bahwa
orang yang paling hina adalah orang yang senantiasa puas dengan bumi.
Jika engkau mampu menyaingi para ulama maka lakukanlah, karena mereka
adalah manusia dan engkau juga manusia yang memiliki akal, dan tidak ada
orang yang selalu puas dengan apa yang sudah didapatkan kecuali orang
yang paling malas dan lemah semangatnya.
Ketahuilah bahwa engkau sekarang berada di medan pertandingan dan waktu
yang engkau miliki semakin habis, maka janganlah engkau
bermalas-malasan. Sungguh tidaklah luput dari apa yang luput melainkan
karena kemalasan, dan tidak diperoleh dari apa yang sudah tercapai
kecuali disebabkan karena usaha dan semangat”. (Shoidul Khotir:159-161)
Dalam menuntut ilmu syar’i diperlukan kesungguhan. Tidak layak para
penuntut ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan
ilrnu yang berrnanfaat -dengan izin Allah- apabila kita
bersungguh-sungguh dalam menuntutnya.
Imam asy-Syafi’i
rahimahullaah pemah mengatakan dalam sya’irnya,
Saudaraku, engkau tidak akan mendapat ilmu, melainkan dengan enam perkara.
Kukabarkan kepadamu rinciannya dengan jelas
Kecerdasan, kemauan keras, bersungguh-sungguh, bekal yang cukup, bimbingan ustadz, dan waktunya yang lama.
[Diwaan lmam asy-Syafi’i (hal. 378). Cet. Daml Fikr, th. 1415 H.]
9. Mengikat ilmu dengan menulis dan sering Muroja’ah (mengulang-ulang) hafalan.
Dari Abdullah Bin Amr, Rosulullah bersabda: “Ikatlah ilmu!”, para
Sahabat berkata: “Wahai Rosulullah apa pengikat ilmu?”. Beliau bersabda:
“Tulisan”. (dihasankan oleh Syaikh Salim Bin Ied Al-Hilali dalam
Manhajul Ambiya’ Fi Tazkiyatun Nufus:120)
Imam Asy-Syafi’i berkata:
Ilmu bagaikan binatang buruan sedang tulisan adalah tali kekang
Ikatlah binatang buruan kalian dengan tali yang kokoh lagi kencang
Sungguh termasuk kedunguan adalah ketika kamu berhasil mendapatkan kijang
Lalu di tengah orang kamu biarkan tanpa ikatan sehingga lepas dan melayang.
(Kitabul Ilmi:62)
Syaikh Utsaimin berkata: “Wajib atas para penuntut ilmu untuk
semangat dalam mengulang-ulang dan mengikat pelajaran baik dengan
menghafal atau menulisnya, hal ini disebabkan karena manusia adalah
tempat untuk lupa. Maka jika seseorang belajar akan tetapi tidak
muroja’ah maka ilmu yang ia dapatkan akan hilang dan lupa”. (Kitabul
Ilmi:62)
10. Berdo’a kepada Allah ta’ala agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Diantara do’a yang Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam ucapkan adalah:
“
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilrnu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Humaidi (1/143, no. 299), Ahmad
(VI/322), Ibnu Majah (no. 925), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal
Lailah (no. 110), dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 102),
dari Shahabivah Ummu Salamah
radhiyallaahu ’anha. Lihat Shahiih lbnu Majah (1/152, no. 753).]
Imam Ahmad berkata : “Sesungguhnya ilmu adalah pemberian (nikmat)
yang Allah berikan kepada yang dikehendaki, dan tidaklah seseorang
memperolehnya dengan kemuliaan nasabnya. Jika seandainya ilmu bisa
diperoleh dengan nasab maka niscaya orang yang paling berhaq
mendapatkanya adalah Ahli Bait Rosulillah”. (Ma’alim Fi Thoriq Tolabil
Ilmi:56)
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Wahai para penuntut ilmu!
Tingkatkan harapan kalian, kembalilah kepada Allah dengan berdo’a dan
menghinakan diri dihadapanNya. Sungguh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah
sering sekali jika susah di dalam memahami tafsir suatu ayat dalam
Al-Qur’an, beliau mengucapkan dalam do’anya: “
wahai Allah Dzat yang
telah meng’ajarkan Nabi Adam dan Ibrohim ajarkanlah saya, wahai Allah
Dzat yang telah memahamkan Nabi Sulaiman fahamkanlah saya”, kemudian
setelah berdo’a seperti ini maka beliau diberikan kemudahan dalam
memahami tafsirnya”. (Hilyah:58-59)
Juga do’ a beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“
Ya Allah, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau
ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku. Dan
tambahkanlah ilmu kepadaku.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3599) dan ibnu Majah (no. 251, 3833), dari Shahabat Abu Hurairah
radhiyallaahu’anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 2845) dan Shahiih Sunan lbni Majah (no. 203).]
11. Mengajarkan ilmu yang sudah didapatkan.
Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As-Sa’di berkata: “Dan diantara adab bagi
orang yang berilmu dan para penuntut ilmu adalah saling menasehati dan
menyebarkan ilmu yang bermanfaat sesuai dengan kemampuan. Walaupun
seseorang hanya mengetahui satu masalah saja, kemudian ia ajarkan dan
sebarkan maka ini adalah tanda barokah dari ilmunya, karena buah ilmumu
adalah ketika manusia mengambil ilmu tersebut darimu.
Dan barang siapa yang bakhil dengan ilmunya, maka ilmunya akan mati
dengan kematiannya, bahkan terkadang dia akan lupa dari ilmunya walupun
dia masih hidup. Akan tetapi seseorang yang menyebarkan ilmunya, maka
inilah kehidupan ilmunya yang kedua dan sebagai wacana untuk menghafal
ilmunya, dan Allah akan mengganjarnya sesuai dengan amalannya”.
(‘Awa’iqut Tholab:93)
Ilmu syar’i yang telah kita peroleh dan fahami bukanlah untuk kita sendiri. Namun, kita harus mendakwahkannya.
Dakwah ini harus dengan mengetahui syari’at Allah
‘Azza wa Jalla sehingga dakwah tersebut tegak di atas ilmu dan bashirah, berdasarkan firrnan Allah Ta’ala,
“
Katakanlah (Muhammad), inilah jalanku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah,
dan aku tidak termasuk orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Yang dimaksud bashirah dalam dakwah adalah seorang da’i harus
mengetahui hukum syar’i, cara berdakwah, dan mengetahui keadaan orang
yang menjadi objek dakwah.
[Syarah Tsalaatsatil Ushuul (hal. 22).]
Objek dakwah yang paling utama adalah keluarga dan kerabat kita karena Allah Ta’ ala berfirman,
“
Wahai orang-orang yang beriman, peliharah dirimu dan keluargamu
dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
Malaikat-Malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah
terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6)
Mengenai pengertian ayat ini ‘Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Didik dan ajarkanlah mereka.”
Ibnu ‘Abbas (wafat th. 68 H)
radhiyallaahu ‘anhuma berkata,
“Lakukanlah ketaatan kepada Allah, takutlah berbuat maksiat kepada-Nya,
dan suruhlah keluarga kalian berdzikir, niscaya Allah akan
menyelamatkan kalian dari Neraka.”
12. Menghormati gurunya.
Imam An-Nawawi berkata: “Hendaknya orang yang ingin bertanya, ia beradab
kepada muftinya (seorang ulama yang akan ditanya) dan menghormatinya
dalam berbicara dengannya, dan hendaknya dia tidak menuding dengan
jarinya kearah muka gurunya. Demikian juga tidak boleh berkata: ‘apa
yang kamu hafal tentang masalah ini?’, atau berkata: ‘apa madzab gurumu
atau Imam Syafi’i dalam masalah ini?’.
Demikian juga tidak boleh ketika gurumu telah menjawab, kemudian engkau
mengatakan: ‘kalau pendapat saya seperti ini’. Atau engkau mengatakan:
‘tetapi ulama ini dan itu menjawab tidak seperti jawabanmu’. Atau engkau
mengatakan: ‘jika jawaban engkau seperti ini saya akan tulis jawabanmu
jika tidak maka saya tidak akan menulisnya’.
Demikian juga tidak boleh bertanya kepada gurunya dalam keadaan berdiri,
berjalan, atau ketika gurunya sedang marah, sedih, setres, atau kondisi
yang membuat tidak bisa konsentrasi”. (Adabul Fatwa Wal Mufti Wal
Mustafti:83)
13. Rihlah ( safar ) untuk menuntut ilmu.
Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Akan datang kepada kalian manusia
untuk menuntut ilmu. Maka jika kalian nanti melihatnya, katakanlah
kepada mereka: ‘Marhaban-Marhaban (selamat datang) wahai para wasiat
Rosulillah’ dan puaskanlah mereka!”. Maka ditanyakan kepada Hakam
(Seorang Rowi Hadits) : ‘apa maksud puaskanlah mereka?’ beliau berkata:
“Ajarilah mereka”. (H.R Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Albani
dalam Shohih Ibnu Majah:201)
Jabir Bin Abdillah berkata: “Telah sampai kabar kepada saya bahwa
ada seorang sahabat telah mendengar hadits dari Rosulillah yang belum
pernah saya dengar, maka saya langsung membeli onta dan saya siapkan
semua bekal, kemudian saya pergi ke syam dengan menempuh perjalanan
selama satu bulan. Setibanya di syam saya langsung menuju rumah orang
tersebut, dan rupanya beliau adalah
Abdullah Bin Unais Al-Anshori.
Ketika sampai dirumahnya maka saya mengetuk pintu dan keluarlah
seseorang, maka saya berkata kepada: ‘Tolong beritahu Abdullah bahwa
Jabir ingin bertemu dan menunggu di pintu’. Maka orang tersebut kaget
seraya berkata: ‘Anda Jabir Bin Abdillah?’, maka saya berkata: ‘Ya
benar’. Kemudian orang tersebut masuk menemui Abdullah, lalu keluarlah
Abdullah Bin Unais dan langsung memelukku dan akupun memeluknya,
kemudian aku berkata: ‘Saya telah mendengar kabar bahwa engkau mendengar
hadits dari Rosulillah tentang Madzolim (kriminal) yang belum pernah
aku dengar, dan saya takut jika saya mati lebih dahulu atau engkau
meninggal dahulu dan saya belum mendengar hadits tersebut”. (Ar-Rihlah
Fi Tolabul Ilmi:110 karya Khotib Al-Baghdadi)
14. Senantiasa menjaga adab-adab dalam mejelis.
Dari
Abi Sa’id Al-Khudri berkata: “Suatu ketika Rosulullah
berdiri diatas mimbar dan bersabda: “Sesungguhnya perkara yang paling
aku takutkan menimpa kepada kalian adalah kenikmatan yang Allah bukakan
kepada kalian dari perbendaharaan bumi”, kemudian beliau menyebutkan
perhiasan dunia satu persatu. Lalu salah seorang sahabat berdiri dan
berkata: ‘Wahai Rosulullah apakah kebaikan bisa mendatangkan
kejelekan?’. Maka Rosulullah diam, dan kami berkata: ‘Beliau sedang
diberikan wahyu’. Dan semua manusia diam sampai seakan-akan diatas
kepala mereka ada seekor burung”. (H.R Bukhori)
Ibnul Ambari berkata: “Perkataan : ‘Manusia duduk diam
seakan-akan di atas kepala mereka ada seekor burung’ ada dua makna: yang
pertama: bahwasanya mereka diam tidak bergerak dan senantiasa
menundukkan pandangan. Karena burung tidak hinggap kecuali di tempat
yang diam….”. (Al-Jami’ Li Akhlaqir Rowi Wa Adabis Sami’:1/192/-193)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Apabila engkau menghadiri
majlis ilmu, maka janganlah kehadiranmu melainkan untuk menambah ilmu
dan pahala, bukannya hadir dengan kesombongan, mencari kesalahan untuk
engkau sebarkan atau sesuatu yang ganjil untuk engkau beberkan. Karena
ini adalah perbuatan orang-orang yang rendah dan tidak akan beruntung
dalam ilmu selama-selamanya”.(Al-Akhlak was Sair fi Mudaawaatin Nafus
halaman 92)
15. Mengumpulkan kitab dan gemar dalam membacanya.
Syaikh bakr abu zaid berkata: “Kemuliaan ilmu sudah jelas karena
banyak manfaatnya, dan kebutuhan kita kepadanya seperti kebutuhan jasad
kita terhadap nafas, dan akan nampak kekurangan seseorang ketika ia
kurang dalam ilmunya, begitu juga kebahagiaan dan kesenangan akan
diperoleh sesuai dengan jumlah ilmu yang ia dapat. Maka perkara-perkara
ini semakin menguatkan kebutuhan para penuntut ilmu untuk belajar, dan
meningkatkan kebutuhan kita akan kitab.
Maka dari itu hendaknya engkau kuatkan ilmumu dengan kitab, dan
ketahuilah bahwa setiap kitab saling melengkapi sehingga satu kitab
tidak akan mencukupi dari yang lainya. Dan hendaknya kamu memilih
kitab-kitab yang bermanfaat, tetapi jangan engkau penuhi perpustakaanmu
dengan kitab-kitab yang akan mengotori pikiranmu dari kitab-kitab yang
tidak bermanfaat apalagi kitab-kitab Ahli Bid’ah, karena ini semua
bagaikan racun yang mematikan”. (Hilyah:75-76)
PERKARA YANG HARUS DIJAUHI BAGI PENUNTUT ILMU:
1. Menuntut ilmu bukan karena Allah.
Dari Abu Huroiroh, Rosulullah bersabda: “
Barang siapa menuntut ilmu
yang seharusnya diniatkan untuk mencari ridho Allah, tetapi ia tidak
menuntutnya kecuali karena untuk menggapai kenikmatan dunia, maka ia
tidak akan mencium bau surga di hari kiamat”. (H.R Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dishohihkan oleh Hakim dan Dzahabi)
2. Meningalkan amal.
Ali Bin Abi Tholib berkata: “
Ilmu senantiasa memanggil amal, jika
amal menjawab panggilannya maka ilmu akan diam dan tetap, tetapi jika
amal tidak menjawabnya maka ilmu tersebut akan pergi”. (Jami’ Bayanil Ilmi:2/11)
3. Perbuatan dosa dan maksiat.
Abdullah Bin Mas’ud berkata: “Sungguh saya mengira seseorang lupa
terhadap ilmu yang pernah ia pelajari disebabkan perbuatan dosa yang ia
lakukan”. (Al-Jami’:1/196)
Imam Ibnul Qayyim
rahimahullaah menjelaskan dalam kitabnya
ad-Daa’ wad Dawaa’
bahwa seseorang tidak mendapatkan ilmu disebabkan dosa dan maksiyat
yang dilakukannya. Seseorang terhalang dari ilmu yang bermanfaat
disebabkan banyak melakukan dosa dan maksiyat.
Seorang Muslim dan Muslimah harus menjauhi dosa-dosa besar, apalagi ia
seorang penuntut ilmu, oleh sebab itu kita harus menjauhi dosa dan
maksiyat. Dosa yang paling besar adalah syirik, durhaka kepada kedua
orang tua, melakukan bid’ah, kemudian menjauhkan dosa-dosa besar seperti
muamalah riba dengan berbagai macamnya (di antaranya bunga bank,
renten, dsb), minum khamr (minuman keras), narkoba, merokok, mencukur
jenggot, makan dan minum dari usaha yang haram, isbal (memanjangkan kain
atau celana melebihi mata kaki bagi laki-laki), tabarruj (wanita
membuka aurat di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya), durhaka kepada
suami, namimah (mengadu domba), dusta (berbohong), ghibah
(membicarakan aib seorang Muslim), menggunjing, menuduh seorang Muslim
dengan tuduhan yang tidak benar, memfitnah seorang Muslim, dan lain
sebagainya.
Imam Ibnul Qayyim
rahimahullaah berkata, “
Di antara hal yang
sangat mengherankan bahwa ada seseorang yang mudah menjaga dirinya dan
berhati-hati dari makan makanan yang haram, berbuat berzina, mencuri,
minum khamr, melihat kepada sesuatu yang haram, dan selainnya. Namun, ia
sangat sulit untuk menahan gerak lisannya hingga Anda dapat melihat
seseorang yang dianggap faham agama, zuhud, dan banyak beribadah, ia
berbicara dengan kata-kata yang tanpa sadar dapat mendatangkan murka
Allah Ta’ala. Yang dengan satu kalimat darinya ia dimasuk-kan ke dalam
Neraka yang dalamnya lebih jauh dari-pada jarak antara timur dan barat.”
[ad-Daa’ wad Dawaa’ (hat 244), tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin’ Ali ‘Abdul Hamid.]
Perhatikanlah, sesungguhnya dosa dan maksiyat dapat menghalangi ilmu
yang bermanfaat, bahkan dapat mematikan hati, merusak kehidupan, dan
mendatangkan siksa Allah Ta’ ala.
4. Belajar hanya mengandalkan buku (Otodidak).
Para ulama sejak dahulu berkata: “Barang siapa yang gurunya adalah
kitabnya, maka kesalahannya lebih banyak dari kebenaranya”. (‘Awa’iqut
Tholab:26)
5. Menghabiskan waktu tanpa faedah.
Rosullah bersabda: “
Diantara tanda kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak ada manfaatnya”. (H.R Tirmidzi dan dihasankan oleh imam Nawawi)
Imam Dzahabi ketika menyebutkan biografi Abdul Wahab Bin Al-Amin
berkata: “Sesungguhnya waktu beliau sangat dijaga, maka tidaklah
waktunya berjalan kecuali beliau mengisinya dengan bacaan, dzikir,
tahajud, atau menyimakan hafalan”.(Ma’rifatul Quro’ Al-Kibar:2/645)
6. Tergesa-gesa untuk mendapatkan hasilnya.
Berkata Al-Ma’mun : “Sugguh sangat aneh ketika ada salah seorang
penuntut ilmu belajar cuma tiga hari kemudian berkata: ‘saya adalah
termasuk ulama ahli hadits”. (Siyar ‘Alamun Nubala’:10/89)
Ibnu Hamzah berkata: “Imam Ya’qub Bin Sufyan berkata kepadaku : ‘Sungguh
saya menuntut ilmu tiga puluh tahun”. (Tadzkirotul Hufadz pada bigrafi
Imam Makhhul)
7. Tidak bertahap dalam belajar ilmu.
Allah berfirman: {Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al-Qur’an
tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”. Demikianlah (Kami
turunkan berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacakanya kepadamu secara Tartil (teratur dan benar) }.
(Al-Furqon:32)
Imam Az-Zabidi berkata: “Wajib untuk tidak masuk kepada fann (cabang
ilmu) kecuali setelah menguasai fann yang sebelumnya”. (‘Awa’iqut
Tholab:35)
Imam Ibnu Abdil Bar berkata: “Belajar memiliki derajat, tingkatan, dan
urutan. Dan tidak boleh menerjang dan melanggar urutan tersebut, karena
hal ini akan menerjang metode para ulama Salaf. Barang siapa menyelisihi
metode mereka dengan sengaja pasti ia akan sesat, dan yang menyelisinya
karena berijtihad (mengira baik) maka ia akan tergelincir (salah)”.
(Al-Jami’:2/166)
8. Sifat sombong dan ujub.
Imam Mujahid berkata: “Tidak akan menuntut ilmu orang yang pemalu dan orang yang sombong”. (H.R Bukhori)
Para ulama berkata: “Ilmu itu ada tiga tingkatan: Siapa yang masuk
kepada tingkatan pertama maka ia akan sombong, Siapa yang masuk
tingkatan kedua maka ia akan menjadi orang yang tawadhu’, dan Siapa
masuk tingkatan ketiga maka pasti ia akan merasa bahwa dirinya belum
banyak mengetahui”. (Tadzkirotus Sami’ Wal Mutakalim:65)
Abu ‘Ashim An-Nabil berkata: “Saya duduk di majelis Imam Sufyan
Ats-Tsuri. Di majelis tersebut hadir pula seorang pemuda yang pandai,
dan pemuda tersebut maju, berbicara, sombong dengan kecerdasanya, dan
memperlihatkan ilmu (berlagak seperti orang yang paling pandai) padahal
disitu ada orang yang lebih senior. Maka Sufyan marah dan berkata:
“Sungguh ulama salaf tidak seperti ini, dahulu mereka tidak menganggap
dirinya seperti ulama dan tidak duduk di depan sampai mereka menuntut
ilmu tiga puluh tahun. Sedangkan kamu ini orang yang sombong dan merasa
tinggi dari orang yang lebih tua (senior) darimu. Berdiri dan menjauh
dariku!!, saya tidak mau melihat kamu maju kedepan lagi di majelisku
ini”.(Al-Madkhol Ila Susanil Kubro:679 karya Imam Al-Baihaqi)
9. Cinta akan ketenaran dan menampakan dirinya sebagai orang yang berilmu.
Imam Syafi’i berkata: “Saya sangat senang jika manusia mengambil ilmu
dariku tetapi mereka tidak pernah menisbatkan ilmu tersebut kepadaku,
sehingga Allah memberi pahala kepadaku dan mereka tidak memujiku”.
(Al-bidayah Wan Nihayah:5/256 karya Imam Ibnu Katsir)
Syaikh Utsaimin berkata: “Dan perkara yang wajib dijauhi oleh penuntut
ilmu adalah sikap menampakan ilmunya sebelum ia menjadi orang yang
layak”. (Kitabul Ilmi:81)
10. Sifat hasad (dengki atau iri)
Allah berfirman: {Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhamad) lantara
karunia (Kenabian, Al-Qur’an, dan kemenangan) yang Allah berikan
kepadanya. Sungguh Kami telah memberikan kitab dan hikmah kepada
keluarga ibrohim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang
besar}. (An-Nisa’:54)
Syaikul Islam berkata: “Telah dikatakan bahwa jasad tidak akan luput
dari sifat hasad, tetapi orang yang mulia senantiasa menyembunyikannya
(menepisnya), sedang orang yang hina adalah orang yang selalu
menampakkanya”. (Majmu’ Fatawa:10/124-125)
Syaikh Utsaimin berkata: “Sesungguhnya hasad adalah akhlaq yang tercela,
tetapi sangat disayangkan bahwa sifat hasad tersebut ada pada para
ulama, penuntut ilmu, dan para saudagar yang kaya. Mereka saling hasad
kepada saudaranya, dan setiap orang yang mempunyai profesi hasad kepada
rekannya, tetapi yang aneh bahwa sifat ini di kalangan para ulama dan
penuntut ilmu lebih banyak dan besar, padahal orang yang berilmu adalah
orang yang paling lanyak untuk menjauhi sifat yang tercela ini dan
menghiasi diriya dengan akhlaq yang mulia.
Wahai saudaraku jika engkau melihat ada seseorang yang telah diberikan
nikmat oleh Allah, maka engkau berusalah untuk menjadi yang serupa
dengannya, dan jangan sekali-kali benci terhadap nikmat Allah tersebut,
dan hendaklah engkau berdo’a: ‘ya Allah tambahkan nikmatmu kepada dia,
dan jadikan aku lebih baik darinya’. Karena sesungguhnya hasad tidak
mungkin merubah taqdir Allah”. (Kitabul Ilmi:74)
11. Putus asa dan meremehkan diri sendiri.
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Janganlah kamu putus asa dan gelisah jika
Allah belum membukakan ilmu kepada engkau, karena ulama’-ulama’ besar
dan masysur pun ada diantara mereka yang tidak dibukakan sebagian cabang
ilmu agama. Diantara mereka adalah: Al-Asma’i dalam ilmu Arudh (cabang
dari ilmu bahasa arab), Ar-Rohawi seorang ahli hadits dalam ilmu Khoth
(kaedah tulisan), Ibnu Sholah dalam ilmu Mantiq (kaidah berargumen), Abu
Muslim pakar ulama Nahwu dalam ilmu Shorof, As-Suyuti dalam ilmu Hisab
(perhitungan), Abu ‘Ubaidah, Muhammad Bin Abdul Baqi Al-Anshori, Abul
Hasan Al-Qothi’I, Abu Zakaria Yahya Bin Ziyad Al-Faro’, Abu Hamid
AL-Ghozali mereka semua belum dibukakan ilmu Nahwu”. (Hilyah:58)
Imam Al-‘Askari berkata: “Dahulu hafalan adalah perkara yang paling
susah bagiku ketika saya pertama kali menuntut ilmu, kemudian saya paksa
diri untuk membiasakanya sampai menjadi mudah bagiku, bahkan aku
menghafal Sya’ir Ru’bah dalam satu malam padahal sya’ir ini sekitar 200
bait”. ( Al-Hattsu ‘Ala Tholabil ‘Ilmi:71)
12. Taswif (Berangan-angan belaka dan menunda waktu).
Taswif adalah seseorang bercita-cita sesuatu amal tetapi dia terus menunda-nunda amal tersebut dengan mengatakan “nanti aja lah”
Abdullah bin umar berkata: “Suatu ketika Rosululloh memegang pundak
saya, kemudian berkata: “Jadilah engkau hidup di dunia bagikan orang
yang asing atau orang yang sedang menyebrangi jalan”. Ibnu umar berkata:
“Maksudnya jika engkau di pagi hari jangan menunda amal sampai sore,
jika kamu di sore hari jangan menunda amal sampai pagi. Manfaatkan
kesehatanmu sebelum sakitmu, dan gunakan hidupmu untuk persiapan
matimu”.(H.R Bukhori)
Para ulama salaf berkata: “Taswif termasuk pasukan iblis”. (Iqtidho’ul Ilmi Al-‘Amal:114)
Ibnul Qoyyim berkata: “Sesungguhnya angan-angan belaka adalah modal
utama bagi orang-orang yang rugi”. (Madarus Salikin:1/456-457)
13. Ta’assub terhadap salah seorang guru atau golongan.
Syaikh Al-Utsaimin berkata: “Wajib atas penuntut ilmu untuk
menghilangkan perkelompokan dan penggolongan dengan mengikat Wala’
(loyalitas) dan Baro’ (berlapas diri) kepada suatu kelompok atau suatu
golongan. Hal ini tanpa diragukan merupakan perkara yang menyelisihi
manhaj Salaf, karena salaf tidak berkempok-kelompok akan tetapi mereka
adalah kelompok yang satu. Mereka berjalan di bawah firman Allah Ta’ala {
Dia (Allah) telah menamai kalian semuanya dengan orang-orang muslim
dari dahulu } Al-Haj:78. Maka tidak ada penggolongan, pengkotakkan,
Wala’, dan Baro’ kecuali dengan apa-apa yang datang dari Rosulullah.
Sebagian orang bergabung dengan suatu golongan, kemudian ia mengokohkan
pendapat kelompok tersebut, berdalih dengan dalil-dalil mereka walaupun
terkadang dalil tersebut merupakan bantahan terhadap mereka sendiri.
Ia juga membela golongan itu dengan mati-matian, ia sesatkan setiap
orang yang menyelihinya dengan menggunakan kaedah ‘Siapa yang tidak
bergabung denganku maka ia adalah musuhku’. Sungguh dalam islam ini
tidak ada pengelompokan, sehingga ketika terjadi pengkotakan dan
perpecahan dalam tubuh kaum muslimin sampai tingkat saling menyesatkan
dan mengghibah saudaranya, mereka ditimpa kehancuran sebagai mana Allah
berfirman : {Dan taatlah kepada Allah dan RosulNya dan janganlah kalian
berbantah-bantahan (bercerai berai) yang menyebabkan kalian menjadi
gentar (porak poranda) dan hilang kekuatan kalian } Al-Anfal:46.
Dan kita juga mendapatkan sebagian penuntut ilmu, mereka belajar kepada
seorang atau beberapa syaikh, kemudian ia membela syaikh tersebut baik
dengan dalil yang benar ataupun batil. Kemudian ia juga membenci,
menyesatkan dan membid’ahkan orang-orang yang menyelisihi syaikhnya, dan
ia melihat bahwa syaikhnya adalah seorang yang pandai dan yang
memperbaiki, sedangkan yang lainnya merupakan orang yang bodoh atau
orang yang merusak. Ini semua adalah kesalahan yang fatal, dan yang
wajib atas setiap orang untuk mengambil setiap perkatan yang benar dan
sesuai dengan Al-Qur’an, Sunah, dan pemahaman para sahabat dari siapapun
orangnya”. (Kitabul Ilmi:80-81)
14. Memuji diri dan bangga dengan pujian.
Allah ta’ala berfirman: { Janganlah sekali-kali kalian menyangka bahwa
orang yang gembira dengan apa yang tidak mereka kerjakan dan mereka suka
supaya dipuji terhadap pekerjaan yang belum mereka kerjakan, janganlah
kalian menyangka bahwa mereka bebas dari siksa, bagi merekalah siksa
yang pedih }. (Ali ‘Imron:188)
Allah ta’ala berfirman: {Maka janganlah kalian merekomendasikan (memuji)
diri-diri kalian. Diala (Allah) yang paling mengetahui siapakah orang
yang bertaqwa}. (An-Najm:32)
Para ulama berkata: “Orang yang berakal adalah orang yang mengetahui
kadar dirinya dan tidak terpedaya dengan pujian orang-orang yang tidak
mengetahuinya”. (Dzail Thobaqot Hanabilah:1/148)
Abu Bakar As-Siddiq mendengar bahwa orang-orang telah memujinya, maka
beliau berkata: “ya Allah sesungguhnya Engkau adalah zat yang lebih
mengetahui diriku dari pada aku sendiri, dan saya adalah orang yang
lebih mengetahui akan diriku dari pada mereka, maka jadikanlah aku wahai
Allah ta’ala orang yang lebih baik dari apa yang mereka kira, dan
janganlah Engkau siksa aku karena ucapan mereka, dan ampunilah aku
dengan rahmatMu dari apa-apa yang tidak mereka ketahui” (Kitab
Az-Zuhud:14 karya Ibnul Mubarok)
15. Tidak berkata tentang sesuatu yang belum diketahui.
Datang seseorang dari negeri Andalus kepada Imam malik Bin Anas untuk
menanyakan 42 masalah, tetapi Imam Malik hanya menjawab dua pertanyaan,
sedangkan empat puluh pertanyaan beliau cuma berkata: “La Adri” (saya
tidak tahu). Maka terheran-heran orang tersebut kemudian berkata: “Kamu
itu Imam Malik tetapi kenapa engkau tidak tahu!”. Kemudian beliau
berkata: “Beritahu kepada orang-orang di negerimu bahwa Malik tidak
mengetahui”. (Ma’alim:273-274)
Al-Qosim Bin Muhamad suatu ketika ditanya, maka beliau menjawab: “Saya
tidak tahu”. Kemudian beliau berkata: “Demi Allah jika seandainya
seseorang hidup dalam keadaan bodoh asalkan ia mengetahui hak-hak Allah
yang wajib ia tunaikan, ini lebih mulia dari pada orang yang berkata
tentang apa yang ia tidak mengetahuinya”. ( Jami’ Bayanil Ilmi:2/53)
Ditulis oleh:
THOLIBIL ILMI AL-FAQIR ‘ILA ROHMATILLAH WA ‘AFWIHI
ABUL ABBAS THOBRONI (Pendiri dan Pimpinan Pondok Pesantren Imam Syafi’i,
Pekalongan – Jawa Tengah ). Semoga Allah mengampuni dosa-dosa penulis,
orang tua, dan karib kerabatnya.
Makalah Dauroh Syar’iyyah dan Tabligh Akbar "TAMASYA KE TAMAN SURGA" Tema "
HILYAH THOLIBUL ‘ILMI" Kota Padang, 23 – 25 Maret 2012 oleh Forum Studi Islam Ilmiah Universitas Andalas (Forsil Unand) dengan adanya penambahan.
Publish by :
http://www.novieffendi.com
Kitab adalah ibarat nutrisi bagi ruh/jiwa seperti makanan dan minuman
bagi badan, maka setiap kitab yang membahayakan maka jangan engkau
masukkan ke dalam perpustakaan koleksi pribadimu
* Kitab-kitab bagi Penuntut Ilmu.
Kitab Aqidah
1. Kitab Tsalaatsatul Ushuul (Tiga landasan Utama).
2. Kitab Al Qowaiaidul Arba' (Empat kaidah).
3. Kitab Kasyfusy Syubuhat (membongkar syubhat).
4. Kitab At Tauhid.
Semuanya adalah tulisan dari Imam Muhammad bin Abdul Wahab
rahimahullah.
1. Kitab Al Aqiidah Al Washithiyyah, yang mencakup tauhid Asma' Wa
Shifat. Inilah kitab terbaik dan kitab ini amat penting untuk
dibaca dan dipelajari (berulang-ulang).
2. Kitab Al Hamawiyah.
3. Kitab Tadmuriyyah. Pembahasan didalam kedua kitab ini lebih luas dibanding Al Aqidah Al Washitiyah.
Ketiga kitab ini ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah.
1. Kitab Al Aqiidah Ath Thahaawiyyah, karya Syaikh Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad Ath Thahawi
rahimahullah.
2. Kitab Syarh Al Aqiidah Ath Thahawiyah karya Abul Hasan 'Ali bin Abil 'Izz
rahimahullah.
3. Kitab Ad Durarus Saniyyah fi Ajwaibah An Najdiyyah, karya Syaikh Abdurrahman bin Qosim
rahimahullah.
4. Kitab Ad Durratul Mdhiyyah fi 'Aqidatil Al Firqah Al
Mardhiyyah, karya Muhammad bin Ahmad As Safarini Al Hambali. Tapi ada
beberapa point yang menyimpang dari manhaj salaf dalam kitab ini.
Oleh karena itu, perlu penjelasan dari seorang Syaikh yang memahami
manhaj salaf dengan benar agar mampu menjelaskan point-point yang
menyimpang.
Kitab Hadits
1. Kitab Fathul Baari Syarh Shahiih al Bukhori, karya Ibnu Hajar Al Atsqolani
rahimahullah.
2. Kitab Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, karya Ash Shan'ani
rahimahullah. Kitab ini memadukan antara kitab hadits dan fiqih.
3. Kitab Nailul Authar Syarh Muntaqaa Al Khbaar, karya Asy Syaukani
rahimahullah.
4. Kitab 'Umdatul Ahkam karya Abdul Ghoni Al Maqdisi
rahimahullah.
Ini adalah kitab yang ringkas dan sebagian besar haditsnya
terdapat dalam kitab shahihain (Shahih Al Bukhori dan Muslim)
sehingga keshahihannya tidak perlu dibahas.
5. Kitab Arba'in An Nawawiyah, karya Abu Zakariya An Nawawi
rahimahullah.
Ini adalah kitab yang baik karena didalamnya terkandung adab dan
manhaj yang baik serta kaidah-kaidah yang sangat bermanfaat.
6. Kitab Bulughul Maram, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqolani
rahimahullah.
Ini adalah kitab yang bermanfaat terutama beliau menyebutkan
perawi dan menerangkan pula orang yang menshahihkan dan mendhaifkan
hadits dan memberi komentar terhadap hadits-hadits itu.
7. Kitab Nukhbatul Fikr karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqolani
rahimahullah
yang dianggap mencukupi. Bila seorang penuntut ilmu memahaminya
secara sempurna maka hal ini akan membuatnya tidak memerlukan kitab
lain dalam ilmu mustholah hadits. Ibnu Hajar -
rahimahullah-
memiliki metode yang baik dalam menyusunnya baik pokok dan terbagi
(cabang). Maka seorang penuntut ilmu akan bersemangat jika
membacanya karena dibangun berdasar pemikiran, dan saya (Syaikh Al
Utsaimin -red) katakan : Amat baik bagi penuntut ilmu untuk
menghafalnya karena merupakan ringkasan yang amat bermanfaat dalam
ilmu musthalah.
8. Kitab yang enam (Kutubus Sittah) yaitu Shahih Al Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan An Nasai, Sunan Abi Daud, Sunan Ibnu Majah,
Sunan At Tirmidzi. Saya nasihatkan agar penuntut ilmu banyak membaca
kitab-kitab ini karena didalamnya terkandung dua faedah : Pertama,
merujuk pada hal yang pokok. Kedua, mengulang-ulang nama-nama
perawi dalam ingatannya. Jika engkau mengulang-ulang nama perawi,
hampir tidak pernah dalam sanad manapun yang tidak bertemu dengan
salah seorang rawi Al Bukhori -misalnya- maka akan lebih dikenal
bahwa dia adalah rawi Al Bukhori, dan dia bisa mengambil faedah
dalam ilmu hadits ini.
Kitab Fiqih
1. Kitab Aadabul Masyyi Ilaash Shalaah, karya Syaikhul Islam Muhamamd bin Abdul Wahab
rahimahullah.
2. Kitab Zaadul Mustaqni' fii Ikhtishaaril Muqni", karya Al Hijawi
rahimahullah dan ini adalah sebaik-baik matan dalam ilmu fiqih
dan merupakan kitab yang ringkas dan padat. Guru kami telah
mengisyaratkan kepada kami untuk menghafalnya, padahal beliau telah
menghafal matan Daliiluth Thaalib.
3. Kitab Umdatul Fiqh, karya Imam Ibnu Qodamah
rahimahullah.
4. Kitab Faraaidh.
5. Kitab matan Ar Rahabiyyah, karya Ar Rahabi.
6. Kitab matan Al Burhaniyyah, karya Muhammad Al Burhany
rahimahullah.
Ini adalah kitab yang ringkas, bermanfaat dan mencakup masalah
faraaidh. Saya melihat bahwa Al Burhaniyyah lebih baik daripada Ar
Rahabiyyah, karena kitab Al Burhaniyyah lebih lengkap.
Kitab Tafsir
1. Kitab Tafsiir Al Quran Al Azhiim, karya Ibnu Katsir
rahimahullah.
Ini adalah kitab yang bagus dalam masalah tafsir dengan atsar
(riwayat), bermanfaat dan aman, namun kandungan Irob dan
balaghohnya sedikit.
2. Kitab Taiisirul Kariimir rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannan,
karya Syaikh Abdurrahman As Sa'di rahimahullah. Ini adalah kitab
yang bagus, mudah difahami dan aman. Saya nasehatkan untuk dibaca.
3. Kitab Muqoddimah Syaikhul Islam fii Tafsiir, dan ini adalah muqoddimah yang penting dan bagus dalam ilmu tafsir.
4. Kitab Adhwaaul Bayaan, karya Al Allamah Muhammad Asy Syinqithi
rahimahullah. Ini adalah kitab yang memadukan antara hadits, fiqih, tafsir dan ushul fiqh.
Kitab Umum dan Beberapa Disiplin Ilmu
1. Dalam ilmu nahwu, Kitab Matan Al Aajurumiyyah, ini adalah kitab nahwu yang ringkas dan padat.
2. Dalam ilmu nahwu, Kitab Alfiyah Ibni Malik, ini adalah kitab ringkasan dari ilmu nahwu.
3. Dalam masalah Siroh (perjalanan hidup/sejarah) kitab terbaik
yang saya lihat adalah Zaadul Ma'aad karya Ibnu Qoyyim Al Jauziyah
rahimahullah. Kitab ini sangat bermanfaat yang menerangkan sejarah Rosululloh
sholallahu alaihi wassalam dalam segala aspek kehidupan, kemudian diterangkan aspek hukumnya.
4. Kitab Raudhatul Uqalaa', karya Imam Ibnu Hibban Al Busti
rahimahullah.
Meskipun ringkas, kitab ini adalah kitab yang amat berfaedah dan
banyak menghimpun pelajaran dari kisah-kisah ulama', Ahli hadits
dan yang lainnya.
5. Kitab Siyar 'Alammin Nubalaa', karya Imam Azd Dzahabi
rahimahullah.
Kitab ini memiliki faedah yang amat banyak dan banyak mengandung
pelajaran yang harus dibaca dan dipelajari oleh para penuntut
Ilmu.