Melawan Ghozwul Fikri Dengan Media JIhad


" MELAWAN GHOZWUL FIKRI DENGAN MEDIA JIHAD "

Dalam sebuah buku bertajuk Pedoman Mencari Pengalaman Media, yang diterbitkan oleh Markaz Al Yaqin, dari tentara Daulah Islam Iraq, dijelaskan bahwa melawan orang-orang murtad bukan hanya dengan konfrontasi fisik secara langsung, tetapi ini adalah kerja yang harus terprogram dan dipelajari baik-baik, sehingga umat akan belajar untuk berfikir serius, memiliki pandangan jauh, dan mulai mempersiapkan pasukan untuk beranjak menuju Baitul Maqdis.
Salah satu pembahasan penting pelajaran bagi para pengelola media jihad adalah tentang Melawan Perang Pemikiran (Ghozwul Fikri). Disana disampaikan:
Sungguh, ikhwah jurnalis – semoga Alloh Ta`ala menjaga dan meneguhkan mereka – telah membendung serangan kolonial yang paling kuat yang telah dikenal oleh sejarah perang salib dan perang shofwah/kebangkitan. Sungguh mereka adalah katup pengaman syareat Ar-Rahman. Mereka berhadapan dengan perang yang sangat berbahaya yang bahayanya melebihi perang militer. Itulah perang pemikiran yang menyerang otak kaum muslimin dan hati mereka, lalu menghapuskan identitas mayoritas mereka, membodohi pemikiran mereka, menghancurkan pemahaman mereka, mengganti tradisi mereka, mengeringkan sumber iman mereka dan mematikan ghiroh mereka … tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Alloh yang maha tinggi lagi maha agung.
Para musuh zionis salibis shofwy tahu benar bahwa penjajahan hati itu lebih berhasil dari pada penjajahan negara dan perbudakan manusia. Siapa yang bisa membalik lembaran-lembaran sejarah akan bisa memetik hasil yang sempurna, yang intinya : “Kekuatan manapun tidak akan mampu – meskipun dia memiliki semua sarana – untuk menaklukkan kaum Muslimin, merampas bumi mereka demi keuntungan pribadi, dan menghapuskan eksistensi mereka” sebagaimana yang dialami oleh mayoritas peradaban.
Sedangkan negara-negara baik yang besar maupun yang kecil yang tumbuh dan menetek kepada kekuatan super power akan hancur total dan akan masuk dalam cengkraman yang lain. Bahkan semua perang militer yang menyerang umat Islam akan hancur dan menuai kekalahan, dan hanya akan menorehkan luka setelah kaum Muslimin memberikan pelajaran yang tidak akan pernah terlupakan oleh mereka. Dan pelajaran terakhir yang diambil oleh PBB –penghasung salib – dan yang berputar di sekelilingnya. Mereka belajar dari tangan para pahlawan negara Islam Iraq – semoga Alloh menjaga mereka.
Karena itulah, musuh bebuyutan kaum Muslimin, trio pendengki (Salibis – Yahudi – Majusy) tahu benar bahwa perang militer melawan umat Islam sangatlah mustahil, maka merekapun beralih kepada perang pemikiran, sosial dan tsaqofah (wacana). Dalam beberapa hal mereka berhasil menyeret putra-putra kita dengan jerat-jerat dan makar mereka.
Apakah Ghozwul Fikri Dan Kapan Mulainya?
Menurut M Hanafi Maksum, Gozwul Fikri berasal dari kata ghazw dan al-fikr, yang secara harfiah dapat diartikan “Perang Pemikiran”. Yang dimaksud ialah upaya-upaya gencar pihak musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala untuk meracuni pikiran umat Islam agar umat Islam jauh dari Islam, lalu akhirnya membenci Islam, dan pada tingkat akhir Islam diharapkan habis sampai ke akar-akarnya. Upaya ini telah berlangsung sejak lama dan terus berlanjut hingga kini.
Ghazwul fikri dimulai ketika kaum salib dikalahkan dalam sembilan kali peperangan besar. Kemenangan kaum Muslimin tersebut sangat spektakuler, sebab pasukan Muslim yang diterjunkan dalam pertempuran berjumlah sedikit.
Pasukan Khalid bin Walid, misalnya pernah berperang dengan jumlah tentara sekitar 3000 personil, sedangkan pasukan Romawi yang dihadapi berjumlah 100.000 personil, hampir 1 berbanding 35. Allah memenangkan kaum Muslimin dalam pertempuran tersebut. Kekalahan demi kekalahan itu akhirnya menyebabkan kaum salib menciptakan taktik baru. Di bawah pimpinan Raja Louis XI, taktik baru tersebut dilancarkan. Caranya bukan lagi berupa penyerangan fisik, tetapi musuh-musuh Allah itu mengirimkan putera-putera terbaik mereka ke kota Makkah untuk mempelajari Islam.
Niat atau motivasi mereka tentu bukan untuk mengamalkan, melainkan untuk menghancurkannya. Pembelajaran dengan niat jahat itu ternyata berhasil. Tafsir dikuasai, hadist dimengerti, khazanah ilmu Islam digali. Setelah sampai ke tahap dan tingkat ahli, para pembelajar Islam dari kaum Salib ini kembali ke Eropa, lalu membentuk semacam Research and Development (Penelitian dan Pengembangan) untuk mengetahui kelemahan umat Islam agar dapat mereka kuasai.
Kesungguhan mereka dalam mempelajari Islam tersebut memang luar biasa. Sampai dalam sejarah diungkapkan kisah seorang pembelajar Islam dari kaum salib yang rela meninggalkan anak istrinya hanya untuk berkeliling ke negeri-negeri Islam guna mencari kelemahan negeri-negeri Islam itu. Di antara pernyataan mereka ialah, “Percuma kita berperang melawan umat Islam selama mereka berpegang teguh pada agama mereka. Jika komitmen mereka terhadap agama mereka kuat, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Oleh karena itu, tugas kita sebetulnya adalah menjauhkan umat Islam dari agama mereka, barulah kita mudah mengalahkan mereka.” Gleed Stones, mantan perdana menteri Inggris, juga mengatakan hal yang sama, “Percuma memerangi umat Islam, kita tidak akan mampu menguasainya selama di dada pemuda-pemuda Islam al-Qur’an masih bergelora. Tugas kita kini adalah mencabut al-Qur’an dari hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka.”
Kini kembali ke media-media jihad, menurut Anda – wahai prajurit media – siapakah yang akan membendung perang media ini ? Kami serahkan jawabannya kepada anda sendiri …!
Pembicaraan di atas yang menampilkan esensi media dan pahala bagi yang beramal di tapal batasnya, bukan hanya sebuah khayalan dan tidak pula berlebihan. Tetapi kami telah menyebutkan hal terpenting dan sedikit keterangan, serta kami tidak ingin bicara terlalu banyak karena khawatir menimbulkan kejenuhan. Sebagaimana dikatakan : (Banyak bicara hanya akan menyebabkan sebagian hal terlupakan).
Maka, berbuatlah dan lawanlah Ghozwul Fikri dengan media-media Islam dan jihad yang kita miliki. Allahu Akbar!
Walllahu’alam bis showab!

PASUKAN JUNDU SYAM


" PASUKAN ISLAM JUNDU SYAM KELUARKAN RILIS, AL HAMDULILLAH" 

SYAM-Alhamdulillah, Jundu Syam Fie Biladi Syam (Pasukan Syam Di Bumi Syam) kembali merilis keberadaannya. Dalam rilisnya tersebut (yang kedua), Jundu Syam menampilkan hadits-hadits seputar keberadaan pasukan Syam yang akan menguasai dunia, memerangi dajjal dan memenangkan Islam dan kaum Muslimin. Berikut adalah hadits-hadits yang dirilis oleh Mujahidin Jundu Syam Fie Biladi Syam.
لا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى النَّاسِ يَرْفَعُ اللَّهُ قُلُوبَ أَقْوَامٍ فَيُقَاتِلُونَهُمْ وَ يَرْزُقُهُمُ اللَّهُ مِنْهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَ هُمْ عَلَى ذَلِكَ أَلا إِنَّ عُقْرَ دَارِ الْمُؤْمِنِينَ الشَّامُ وَ الْخَيْلُ مَعْقُودٌ فِي نَوَاصِيهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang eksis di tengah-tengah manusia, Allah akan angkat hati-hati sebuah kaum maka mereka memerangi musuh-musuh Allah dan Allah memberikan rezeki buat mereka dari musuh-musuh Allah sampai datang keputusan Allah Azza Wa Jalla dan mereka tetap dalam keadaan itu.  Ketahuilah bahwa ibukota kaum mukminin adalah Syam dan kuda-kuda tertambat di ubun-ubunnya kebaikan senantiasa sampai hari kiamat.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ حَوَالَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ و سَلَّمَ قَالَ سَيَكُونُ جُنْدٌ بِالشَّامِ وَجُنْدٌ بِالْيَمَنِ فَقَالَ رَجُلٌ فَخِرْ لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ و سَلَّمَ عَلَيْكَ بِالشَّامِ عَلَيْكَ بِالشَّامِ ثَلاثًا عَلَيْكَ بِالشَّامِ فَمَنْ أَبَى فَلْيَلْحَقْ بِيَمَنِهِ وَ لْيَسْقِ مِنْ غُدُرِهِ فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ تَكَفَّلَ لِي بِالشَّامِ وَ أَهْلِهِ قَالَ أَبُو النَّضْرِ مَرَّتَيْنِ فَلْيَلْحَقْ بِيَمَنِهِ.
Dari Ibnu Hawalah berkata, Rasulullah bersabda: “Urusan akan dipegang pasukan yang rapi, pasukan Syam, pasukan Yaman, pasukan Iraq, Ibnu Hawalah berkata: “Kabarkan kepadaku ya Rasulullah jikalau aku mendapatinya yang demikian itu, maka Rasulullah bersabda: “Pergilah ke Syam, karena pada Syam itu ada kebaikan Allah pada buminya, dan hamba-hamba-Nya disana juga yang terbaik yang terpilih, maka jika kamu enggan, pergilah ke Yaman, berilah minum dari lumpur (air hujan) kalian, sesungguhnya Allah menjaminkan kepadaku pada Syam dan para penduduknya.

سَيَكُونُ جُنْدٌ بِالشَّامِ وَ جُنْدٌ بِالْيَمَنِ فَقَالَ رَجُلٌ فَخِرْ لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ و سَلَّمَ عَلَيْكَ بِالشَّامِ عَلَيْكَ بِالشَّامِ ثَلاثًا عَلَيْكَ بِالشَّامِ فَمَنْ أَبَى فَلْيَلْحَقْ بِيَمَنِهِ وَ لْيَسْقِ مِنْ غُدُرِهِ فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى قَدْ تَكَفَّلَ لِي بِالشَّامِ وَ أَهْلِهِ قَالَ أَبُو النَّضْرِ مَرَّتَيْنِ فَلْيَلْحَقْ بِيَمَنِهِ.
“Akan muncul pasukan di Syam dan pasukan di Yaman, maka seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah ceritakan kepadaku jikalau itu terjadi, apa yang mesti saya lakukan? Rasul menjawaba: “Kamu mesti ke Syam, kamu mesti ke Syam, kamu mesti ke Syam, tiga kali. Kamu mesti ke Syam kalau kamu enggan kamu mesti bergabung dengan pasukan Yaman, dan minumlah dari anak sungainya, sungguh Allah telah menjamin buat saya negeri Syam dan para penduduknya, Abu An-Nadhr berkata: “Dua kali,  kamu mesti bergabung dengan pasukan Yaman.

ذُكِرَ أَهْلُ الشَّامِ عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَ هُوَ بِالْعِرَاقِ فَقَالُوا الْعَنْهُمْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَالَ لا إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُولُ الْأَبْدَالُ يَكُونُونَ بِالشَّامِ وَ هُمْ أَرْبَعُونَ رَجُلًا كُلَّمَا مَاتَ رَجُلٌ أَبْدَلَ اللَّهُ مَكَانَهُ رَجُلاًً يُسْقَى بِهِمْ الْغَيْثُ وَ يُنْتَصَرُ بِهِمْ عَلَى الْأَعْدَاءِ وَ يُصْرَفُ عَنْ أَهْلِ الشَّامِ بِهِمْ الْعَذَابُ.
Disebutkan tentang penduduk Syam pada Ali Bin Abu Thalib -semoga Allah meridhoinya- dan dia ketika itu beliau di Iraq, mereka penduduk Iraq berkata: laknatlah mereka (penduduk Syam) wahai Amirul Mukminin, beliau berkata: “Tidak” sungguh saya mendengar Rasulullah bersabda: “Para penganti tersebut di Syam dan mereka 40 laki-laki. Tatkala seseorang dari mereka wafat maka Allah akan gantikan kedudukannya dengan laki-laki yang lain. Mereka diberi minum dengan air hujan, dan dimenangkan mereka atas musuh-musuh mereka dan dipalingkan dari penduduk Syam azab dengan keberadaan mereka.
Kemudian Mujahidin Jundu Syam Fie Biladi Syam mengumumkan keberadaannya di sekitaran Aleppo, Suriah. Jundu Syam Fie Biladi Syam yang terdiri dari mujahid-mujahid lokal Suriah dan mujahid-mujahid asing dipimpin langsung oleh Syaikh Abu Sulaiman Al-Muhajir. Mereka menjadikan Ahlus-Sunnah sebagai akidahnya, dakwah tauhid seruannya dan Jihad Fie Sabilillah sebagai Thoriqohnya.
Rilis Resmi Mujahidin Jundu Syam Fie Biladi Syam
Berikut rilis lengkap Jundu Syam Fie Biladi Syam terkait keberadaan mereka.
Gema Syam mempersembahkan rilis pengumuman jama’ah Jundu Syam disampaikan secara visual oleh Amir Abu Sulaiman Al-Muhajir semoga Allah menjaganya.
Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim
Kabar gembira buat penduduk Syam
Yayasan Gema Syam Media Production
Rilis Pengumuman Tentang Jama’ah Jundu Syam di pedesaan Aleppo (pernyataan visual Amir Abu Sulaiman Al-Muhajir)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad dan atas keluarganya dan para sahabatnya seluruhnya. Selanjutnya.
( ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠّﻪَ ﺍﺷْﺘَﺮَﻯ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﺃَﻧﻔُﺴَﻬُﻢْ ﻭَﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻬُﻢ ﺑِﺄَﻥَّ ﻟَﻬُﻢُﺍﻟﺠَﻨَّﺔَ ﻳُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻓَﻴَﻘْﺘُﻠُﻮﻥَ ﻭَﻳُﻘْﺘَﻠُﻮﻥَ ﻭَﻋْﺪﺍً ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺣَﻘّﺎً ﻓِﻲﺍﻟﺘَّﻮْﺭَﺍﺓِ ﻭَﺍﻹِﻧﺠِﻴﻞِ ﻭَﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻭْﻓَﻰ ﺑِﻌَﻬْﺪِﻩِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻓَﺎﺳْﺘَﺒْﺸِﺮُﻭﺍْ ﺑِﺒَﻴْﻌِﻜُﻢُﺍﻟَّﺬِﻱ ﺑَﺎﻳَﻌْﺘُﻢ ﺑِﻪِ ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﻔَﻮْﺯُ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴﻢُ)(ﻟﺘﻮﺑﺔ .111)
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah [9] : 111)
Maka setelah pasukan tempur Assad diserang begitu pula sekte mereka, rafidhoh. Mereka kemudian menyiksa kaum Muslimin dalam satu tembakan yang sama di Suriah. Maka sesuatu yang mengikat para kaum Muwahhidin dari kalangan Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah yakni kelompok yang memilih langkah jihad dan menyelisihi orang kafir pada setiap tingkatannya dan pada seluruh bentuknya. Berkumpul untuk memperjuangkan al-hak, bersatu dan saling mencintai menentang kesyirikan, mencari tujuan tidak netral dan mundur” perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, dan sampai agama itu milik Allah saja.
Kami saudara kalian mengumumkan terbentuknya, jama’ah Jundu Syam di pedesaan Aleppo dan di pinggiran kotanya. dengan pimpinan Abu Sulaiman Al-Muhajir semoga Allah menjaganya.
Guna menhancurkan benteng perlindungan pasukan tempur Assad dan antek-antek mereka orang-orang murtad. insyAllah musuh-musuh Allah akan melihat serangan kami yang membahayakan mereka. Kalian juga akan melihat-insyAllah Ta’ala- beberapa waktu ke depan kelompok yang akan mementahkan tipudaya orang-orang kafir dan melegakan hati para Muwahhidin.
“Urusan dunia akan dipegang (kuasai) pasukan yang rapi, pasukan Syam, pasukan Yaman, pasukan Iraq, Ibnu Hawalah berkata: “kabarkan kepadaku ya Rasulullah jikalau aku mendapatinya yang demikian itu, maka Rasulullah bersabda: “pergilah ke Syam, karena pada Syam itu ada kebaikan Allah pada buminya, dan hamba-hamba-Nya disana juga yang terbaik yang terpilih, maka jika kamu enggan, pergilah ke Yaman, berilah minum dari lumpur (air hujan) kalian, sesungguhnya Allah menjaminkan kepadaku pada Syam dan para penduduknya.
Allahu Akbar (Kkemulian hanya milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman akan tetapiorang munafik tidak mengetahuinya)
Jangan kalian lupakan saudara kalian para mujahidin pada doa-doa shaleh kalian.

Menanti Thoifah Manshuroh


"Menanti Kemunculan Thaifah Manshurah dari Tanah Syam"


 




oleh : Kaab As-Sidani



Syam, atau Levant dalam sebutan dunia barat, merupakan sebuah kesatuan geografis yang meliputi negara-negara di tepi timur Laut Mediterania. Secara umum dahulunya sebelum kekuasaan Islam, daerah ini merupakan wilayah Romawi. Wilayah ini meliputi Palestina, Lebanon, Yordania dan Suriah. Kadang-kadang Irak dan Sinai dimasukkan pula dalam wilayah ini. UCL Institute of Archeology mendeskripsikan Syam sebagai persimpangan Asia Barat, Mediterania Timur dan Afrika Timur Laut.
Secara umum, keadaan Syam pada hari ini bisa dibilang cukup mengalami kekacauan. Hanya Yordania saja yang terlihat relatif tenang. Selebihnya, seperti Palestina, Suriah dan Lebanon bisa dibilang memiliki kekacauannya sendiri-sendiri. Bagi Palestina dan Lebanon, kekacauan di dalam wilayah mereka bisa dipastikan karena adanya negara aneksator dan invasif Israel, dimana Palestina jelas-jelas menjadi korban yang paling dirugikan dalam masalah ini. Belum juga problem sektarian yang menimpa Lebanon.
Isu yang sedang hangat saat ini di Suriah adalah pembantaian rezim Nusairiyyah Baathis, yang dipimpin oleh Basar Asad kepada penduduk mayoritas ahlus sunnah di sana. Seperti dikutip vivanews, PBB melaporkan bahwa korban pembantaian anjing-anjing Syiah tersebut telah mencapai lebih dari 7000 jiwa pada akhir bulan Februari 2012. Entah apa yang ada dibenak manusia-manusia tersebut. Sudah masyhur bahwasanya rezim Basar Asad tidak segan-segan menyembelih wanita dan anak-anak.

Pahlawan Mana yang Kita Cari ?
Perhatian dunia Internasional tertuju pada pembantaian ini. Amerika dan PBB sebagai poros preman dunia yang biasa sok ngatur kelihatan melempem dalam masalah ini. Belenggu formalitas anggota DK PBB menjadi alasan utama mengapa para pembela HAM ini masih saja membisu untuk menolong ribuan orang tak berdosa yang nyawanya terasa murah ini. Yang jelas sebagai manusia yang beriman kepada syariat Allah akan sangat naif rasanya jika mengharap pertolongan pada thoghut-thoghut zalim ini.
Kasus yang terjadi pada Shaddam Hussein tak berlalu bagi Suriah. Kepemilikan senjata pemusnah massal yang sebenarnya hanya rumor yang tak pernah terbukti menjadi legalitas yang menyegerakan Amerika Serikat untuk segera menyerang Baghdad. Namun entah mengapa, sudah ribuan korban jiwa melayang di bawah tangan Basar Asad, akan tetapi PBB beserta penjahat-penjahat sok moralis yang terlibat di dalamnya masih saja ribut sendiri apakah akan menyerang Basar Asad atau tidak.
Yang jelas kaum muslimin di Suriah sangat butuh para penolong agama dalam waktu yang secepat-cepatnya dan sesingkat-singkatnya untuk menekan jatuhnya korban jiwa. Meskipun sebenarnya tiap tanah kaum muslimin yang dijajah oleh penguasa kafir di bumi ini wajib untuk dibebaskan, akan tetapi keadaan yang darurat membuat pertolongan bagi muslimin sunni di Suriah adalah sangat mendesak dan urgen. 

Akan Muncul Dari Suriah
Dari banyak pasukan spesial dari kaum muslimin di akhir zaman yang dijanjikan oleh nash, Syam cukup beruntung karena wilayah mereka disebutkan didalamnya. Selain panji hitam dari Khurasan dan 12000 pasukan dari Abyan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : 
سيصير الأمر إلى أن تكونوا جنودا مجندة، جند بالشام وجند باليمن وجند بالعراق. قال ابن حوالة خر لي يا رسول الله إن أدركت ذلك فقال: عليك بالشام فإنها خيرة الله من أرضه يجتبي إليها خيرته من عباده، فأما إن أبيتم فعليكم بيمنكم واسقوا من غدركم فإن الله توكل لي بالشام وأهله. 

“Urusan ini akan sampai pada pasukan yang akan dibariskan. Pasukan di Syam, pasukan di Yaman dan pasukan di Irak. Ibnu Khawalah berkata: wahai rasulullah, pilihkan untuk saya jika aku menjumpai hal tersebut. Beliau bersabda: hendaklah engkau memilih Syam (bergabung dengan pasukan Syam.red) karena mereka pilihan Allah dari muka bumi yang Ia pilih dari hamba-hamba-Nya. Jika engau tidak bisa, maka ke Yaman kalian dan berilah minum dari sumber-sumber mata air kalian, karena Allah memilih untukku Syam dan penduduknya”(hadits dikeluarkan oleh imam Abu Dawud dari Abdullah bin Khawalah yang disahihkan oleh Ibnu hibban dan Syaikh Al-Bani) 
Rasulullah telah bersabda demikian dan kabar ini menjadi kabar yang cukup menggembirakan bagi kaum muslimin yang sedang tertindas di sana. Bahwasanya untuk mencari thoifah-thoifah yang handal tidak perlu menunggu datangya bantuan yang eksak dari Hijaz atau Nejd, karena pasukan dari Syam, Irak dan Yaman adalah pasukan yang dijanjikan dan merupakan pilihan hamba-hambanya. 
Abu Asybal Usamah -Gharallahu lahu- menyebutkan dalam analisanya, bahwasanya thoifah-thoifah yang mengarah ke sana telah ada, walaupun belum nampak. Kekejaman rezim Nusairiyyah Baathis pada saat ini sepertinya menjadi momentum yang tepat bagi pasukan tersebut untuk mengeksiskan diri. Seperti halnya al-Qaidah Iraq yang akhirnya menjelma sebagai Daulah Syar’iyyah karena momentum yang diciptakan dari invasi Amerika Serikat.
“Di Irak mereka muncul dengan nama Jaisyul Mahdi. Di Yaman mereka muncul dengan nama Al-Houthi. Di Yordan (masih Syam) mereka muncul dengan nama Hizbullah. Namun mujahidin hanya terkenal dengan satu nama yang menggema, AL-QAEDA. Sama-sama secara zahir mengangkat panji hitam. Sama-sama dalam penantian menuju pembaiatan Imam mahdi yang akan datang (meskipun beda versi). Namun, Thaifah Manshurah itu adalah yang jernih aqidahnya, aqidah wala dan baro'nya kokoh, lemah lembut terhadap orang beriman, keras terdahadap orang kafir, senantiasa berjihad di jalan Allah untuk menegakkan kalimat-Nya dan tidak takut celaan orang-orang yang suka mencela.” Sebut Abu Asybal dalam analisanya di voa-islam.

Karakter Mujahidin dan Thoifah al-Manshuroh
Mujahidin dan thoifah manshurah adalah dua buah istilah yang saling berkaitan erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Thoifah manshurah adalah kelompok yang berperang, serta mujahidin haruslah berada diatas aqidah yang benar, dimana ahli hadits ada di dalamnya, bukan aqidah Syiah, Sufi apalagi Nasionalisme.
“Aku duduk bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam maka ada seorang laki-laki datang dan berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang-orang telah melepas kuda dan meletakkan senjata dan mereka katakan bahwa jihad tidak ada lagi dan alat-alat perangpun sudah dikemas.” Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pun menghadapkan wajahnya dan berkata,
كذبوا الآن الآن جاء القتال ولا يزال من أمتي أمة يقاتلون على الحق ويزيغ الله لهم قلوب أقوام ويرزقهم منهم حتى تقوم الساعة وحتى يأتي وعد الله
“Mereka salah! Justru sekarang inilah, ya sekarang inilah saatnya perang dan akan selalu ada sekelompok orang dari umatku yang berperang di atas kebenaran. Allah menyesatkan hati sebagian orang untuk mereka sehingga mereka bisa memperoleh rezeki dari orang-orang yang tersesat itu. Itu akan berlangsung terus hingga hari kiamat atau sampai datangnya urusan Allah…..” sampai akhir hadits.
(HR. An Nasa`iy, no. 3561, Ahmad dalam musnadnya, no. 16965 dinyatakan hasan sanadnya oleh Al-Arnauth)
Orang yang berperang belum tentu mujahidin, sehingga pertolongan semu yang akan didapatkan jika kaum muslimin hanya menunggu bantuan dari mereka yang culas, oportunis, dan pendengki. Kaum muslimin hanya membutuhkan pertolongan dari thoifah yang ikhlas dan berperang atas dasar aqidah, bukan atas ikatan primordial seperti patok-patok tanah, persekutuan politik, atau atas dasar ikatan batil seperti resolusi PBB, atlantic charter dan lain sebagainya.
Kaum muslimin tentu berharap agar kelompok yang istiqomah membela kehormatan diin dan menjaga darah dan harta kaum muslimin ini segera bertindak membabat persekutuan iblis internasional yang sebenarnya menghendaki habisnya eksistensi Islam. Serta agar sandiwara PBB dan thoghut-thoghut jahat di dalamnya segera terbongkar. Semoga Allah segera menampakkan kekuasaannya serta meneguhkan hati setiap kaum muslimin.[sksd]

AKHLAQ SALAFUS SHOLIH


13 Akhlak Utama Salafus Shalih



Bismillahir rahmanir rahim............

Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Salafush Sholih (generasi terbaik dari umat Islam) bukan hanya mengajarkan prinsip dalam beraqidah saja, namun Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga bagaimanakah berakhlaq yang mulia.

Itulah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad 2/381, shahih)

Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a,

اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ

“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).

Maka sungguh sangat aneh jika ada yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah, namun jauh dari akhlaq yang mulia. Jika ia menyatakan dirinya mengikuti para salaf (generasi terbaik umat ini), tentu saja ia tidak boleh mengambil sebagian ajaran mereka saja. Akhlaqnya pun harus bersesuaian dengan para salaf. Namun saying seribu sayang, prinsip yang satu inilah yang jarang diperhatikan. Kadang yang menyatakan dirinya Ahlus Sunnah malah dikenal bengis, dikenal kasar, dikenal selalu bersikap keras. Sungguh klaim hanyalah sekedar klaim. Apa manfaatnya klaim jika tanpa bukti?

Di antara bukti pentingnya akhlaq di sisi para salaf –Ahlus Sunnah wal Jama’ah-, mereka menjadikan masalah akhlaq sebagaiushul (pokok) aqidah dan mereka memasukkannya dalam permasalahan aqidah. Di antara ajaran akhlaq tersebut adalah:

[Pertama: Selalu mengajak pada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar]

Ahlus Sunnah mengajak pada yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang dari kemungkaran. Mereka meyakini bahwa baiknya umat Islam adalah dengan tetap adanya ajaran amar ma’ruf yang barokah ini. Perlu diketahui bahwa amar ma’ruf merupakan bagian dari syariat Islam yang paling mulia. Amar ma’ruf inilah yang merupakan sebab terjaganya jama’ah kaum muslimin. Amar ma’ruf adalah suatu yang wajib sesuai kemampuan dan dilihat dari maslahat dalam beramar ma’ruf. Mengenai keutamaan amar ma’ruf nahi mungkar, Allah Ta’ala berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)

[Kedua: Mendahulukan sikap lemah lembut dalam berdakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berprinsip bahwa hendaknya lebih mendahulukan sikap lemah lembut ketika amar ma’ruf nahi mungkar, hendaklah pula berdakwah dengan sikap hikmah dan memberi nasehat dengan cara yang baik. Allah Ta’alaberfirman,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)

[Ketiga: Sabar ketika berdakwah]

Ahlus Sunnah meyakini wajibnya bersabar dari kelakukan jahat manusia ketika beramar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini karena mengamalkan firman Allah Ta’ala,

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

[Keempat: Tidak ingin kaum muslimin berselisih]

Ahlus Sunnah ketika menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, mereka punya satu prinsip yang selalu dipegang yaitu menjaga keutuhan jama’ah kaum muslimin, menarik hati setiap orang, menyatukan kalimat (di atas kebenaran), juga menghilangkan perpecahan dan perselisihan.

[Kelima: Memberi nasehat kepada setiap muslim karena agama adalah nasehat]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun punya prinsip untuk memberi nasehat kepada setiap muslim serta saling tolong menolong terhadap sesama dalam kebaikan dan takwa. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ ».

“Agama adalah nasehat. Kami berkata, “Kepada siapa?” Beliau menjawab, “Kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin kaum muslimin serta kaum muslimin secara umum.” (HR. Muslim no. 55)

[Keenam: Bersama pemerintah kaum muslimin dalam beragama]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga menjaga tegaknya syari’at Islam dengan menegakkan shalat Jum’at, shalat Jama’ah, menunaikan haji, berjihad dan berhari raya bersama pemimpin kaum muslimin baik yang taat pada Allah dan yang fasik. Prinsip ini jauh berbeda dengan prinsip ahlu bid’ah.

[Ketujuh: Bersegera melaksanakan shalat wajib dan khusyu di dalamnya]

Ahlus Sunnah punya prinsip untuk bersegera menunaikan shalat wajib, mereka semangat menegakkan shalat wajib tersebut di awal waktu bersama jama’ah. Shalat di awal waktu itu lebih utama daripada shalat di akhir waktu kecuali untuk shalat Isya. Ahlus Sunnah pun memerintahkan untuk khusyu’ dan thuma’ninah (bersikap tenang) dalam shalat. Mereka mengamalkan firman Allah Ta’ala,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2)

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-2)

[Kedelepan: Semangat melaksanakan qiyamul lail]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah saling menyemangati (menasehati) untuk menegakkan qiyamul lail (shalat malam) karena amalan ini adalah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat ini pun yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabinyashallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun bersemangat untuk taat kepada Allah Ta’ala. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menunaikan shalat malam. Sampai kakinya pun terlihat memerah (pecah-pecah). ‘Aisyah mengatakan, “Kenapa engkau melakukan seperti ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan akan datang?”. Beliau lantas mengatakan,

أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

“(Pantaskah aku meninggalkan tahajjudku?) Jika aku meninggalkannya, maka aku bukanlah hamba yang bersyukur.” (HR. Bukhari no. 4837)

[Kesembilan: Tegar menghadapi ujian]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetap teguh ketika mereka mendapatkan ujian, yaitu bersabar dalam menghadapi musibah. Mereka pun bersyukur ketika mendapatkan kelapangan. Mereka ridho dengan takdir yang terasa pahit. Mereka senantiasa mengingat firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya ujian yang berat akan mendapatkan pahala (balasan) yang besar pula. Sesungguhnya Allah jika ia mencintai suatu kaum, pasti Allah akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho, maka Allah pun ridho padanya. Barangsiapa yang murka, maka Allah pun murka padanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih)

[Kesepuluh: Tidak mengharap-harap datangnya musibah]

Ahlus Sunnah tidaklah mengharap-harap datangnya musibah. Mereka pun tidak meminta pada Allah agar didatangkan musibah. Karena mereka tidak tahu, apakah nantinya mereka termasuk orang-orang yang bersabar ataukah tidak. Akan tetapi, jika musibah tersebut datang, mereka akan bersabar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ ، وَسَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا

“Janganlah kalianmengharapkan bertemu dengan musuh tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh bersabarlah.” (HR. Bukhari no. 2966 dan Muslim no. 1742)

[Kesebelas: Tidak berputus asa dari pertolongan Allah ketika menghadapi cobaan]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berputus asa dari rahmat Allah ketika mereka mendapati cobaan. Karena Allah Ta’alamelarang seseorang untuk berputus asa. Akan tetapi pada saat tertimpa musibah, mereka terus berusaha untuk mencari jalan keluar dan pertolongan Allah yang pasti datang. Mereka tahu bahwa di balik kesulitan ada kemudahan yang begitu dekat. Mereka pun senantiasa introspeksi diri, merenungkan mengapa musibah tersebut bisa terjadi. Mereka senantiasa yakin bahwa berbagai musibah itu datang hanyalah karena sebab kelakuan jelek dari tangan-tangan mereka (yaitu karena maksiat yang mereka perbuat). Mereka tahu bahwa pertolongan bisa jadi tertunda (diakhirkan) karena sebab maksiat yang dilakukan atau mungkin karena ada kekurangan dalam mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syura: 30).

Ahlus Sunnah tidak bersandar pada sebab-sebab yang baru muncul, kejadian duniawi atau bersandar pada peristiwa-peristiwa alam ketika mendapat ujian dan menanti datangnya pertolongan. Mereka tidak begitu tersibukkan dengan memikirkan sebab-sebab tadi. Mereka sudah memandang sebelumnya bahwa takwa kepada Allah Ta’ala, memohon ampun (istighfar) dari segala macam dosa dan bersandar pada Allah serta bersyukur ketika lapang adalah sebab terpenting untuk keluar segera mendapatkan kelapangan dari kesempitan yang ada.

[Keduabelas: Tidak kufur nikmat]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah begitu khawatir dengan akibat dari kufur dan pengingkaran terhadap nikmat. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah adalah orang yang begitu semangat untuk bersyukur pada Allah. Mereka senatiasa bersyukur atas segala nikmat, yang kecil atau pun yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963)

[Ketigabelas: Selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia]

Ahlus Sunnah selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia dan baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang baik akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 1162, Abu Daud no. 4682 dan Ad Darimi no. 2792, hasan shahih)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا

“Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat kepadaku pada hari kiamat ialah orang yang bagus akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 2018, shahih)

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

“Sesungguhnya seorang mukmin akan mendapatkan kedudukan ahli puasa dan shalat dengan ahlak baiknya.” (HR. Abu Daud no. 4798, shahih)

مَا مِنْ شَىْءٍ يُوضَعُ فِى الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ

“Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan daripada akhlak yang baik, dan sesungguhnya orang yang berakhlak baik akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2003, shahih)

Semoga yang singkat ini bermanfaat.

[Ustadz Abu Hasan]

Tatkala Para Sahabat Menangis


"Tatkala Para Sahabat Menangis"


Wahai sahabat, apakah kalian termasuk golongan yang ‘melo’ (meminjam istilah gaul saat ini)- Melo atau melankolis dengan artian ; sensitifnya hati  sangat dianjurkan manakala terdengar kalam-kalam Allah dilantunkan. Jangan malu menangis karena insya Allah mata yang menangis pertanda hati yang sehat dan jernih. Ibnu Abbas berkata saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
 Ada dua mata yang tidak disentuh api neraka: Mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata semalaman berjaga di jalan Allah “ (HR. Tirmidzi)
“ Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila (Al Qur’an ) dibacakan kepada mereka , mereka menyungkurkan wajah, bersujud dan mereka berkata “Maha suci Rabb kami; sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi,” Dan mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereke bertambah khusyuk” (Al Isra 107-109)
Menangis adalah satu karunia Allah kepada kita.  Berhati-hatilah jika kita termasuk orang yang tidak bisa meneteskan air mata. Bukan saja mata kita kering karena tidak ada air yang membasuhnya secara alami, tetapi juga kekeringan jiwa. Menangis bukan hanya karena  kehilangan orang yang dicintai, barang yang kita sangat sayangi ataupun karena sakit, tetapi menangis karena hati yang penuh takut dan harap kepada Zat yang menciptakan kita. Takut akan siksanya dan cemas jika tidak mendapat rahmatNya. Bergetarnya Qalbu dan badan manakala diperdengarkan ayat-ayat Nya.
Para sahabat adalah tokoh-tokoh tidak ada duanya setelah para Rasul dan Nabi dalam menempatkan hatinya  tunduk dan terpana dan tak berdaya di depan  kalimah Illahi. Inilah sebagian kisah mereka  yang menggambarkan kehalusan jiwanya manakala berinteraksi dengan ayat Al Qur’an.
ABU BAKAR
Prestasi  pada era kenabian Muhammad saw dan masa kekhalifahannya sangatlah agung untuk kita ingat dan sebutkan. Abu Bakar Ash Shidiq seorang laki-laki dewasa pertama yang beriman kepada Allah dan rasulNya,  khalifah rasulullah sekaligus sahabat beliau, laki-laki yang paling mencintai rasul dan menemaninya pada saat-saat mendebarkan di gua Hira. Namanya Abdullah bin Quhafah, Utsman bin Amir bin Amru bin Ka’aab bin sa’ad bin taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay al quraisy At-taimi.
Imam al Bukhari di dalam kitab shahihnya meriwayatkan dari Ibnu Syihab dari Hamzah bin Abdullah bahwa dia pernah diberitahu oleh ayahnya , ketika sakit yang diderita oleh Rasulullah semakin berat dan beliau diberitahu akan tibanya waktu shalat, beliau bersabda ,” suruhlah Abu Bakar untuk mengimami sahalat orang-orang.” Aisyah berkata , “ Sesungguhnya Abu Bakar itu seorang yang  sensitif ; jika membaca Al Qur’an dia tidak akan kuasa menahan tangisnya.” Rasulullah tetap mengatakan “ suruhlah abu Bakar untuk mengimami shalat!” Aisyah tetap membujuk beliau supaya menunjuk sahabat yang lain, namun beliau tetap memerintahkan ‘” Suruhlah Abu Bakar untuk mengimami shalat! Kalian ini seperti saudara-saudaranya Yusuf saja !”
Pada  masa kaum muslimin mendapat cobaan , Abu Bakar dan keluarga keluar untuk hijrah ke negeri Habasyah. Ibnu Dhagina seorang pemuka di daerah qarah mempertanyakannya, “ Kamu mau kemana hai Abu Bakar/ Orang sepertimu mestinya tidak diusir dan jangan pergi  karena kamu selalu menyediakan lapangan pekerjaan bagi yang tidak punya, selalu menyambung silaturrahim, kamu selalu meringankan beban orang lain , memnghormati tamu dan selalu menegakkan kebenaran. Karena itu aku memberikan jaminan keamanan kepadamu. Kini pulanglah dan beribadahlah kepada Rabb mu di negeri mu sendiri!”
Abu Bakar pun kembali bersama Ibnu Daghinah . Orang-orang Quraisy mengatakan kepada Inu Dhaginah” suruhlah Abu Bakar untuk beribadah kepada Rabbnya di rumahnya saja . Disitu silakan saja dia mengerjakan  shalat dan dan  membaca apa saja sesuka hatinya. Jangan samapai ibadahnya itu mengganggu kami dan jangan sampai dia melakukan terang-terangan ..karena kami takut istri dan anak-anak kami terpengaruh olehnya.
Ketika Ibnu Dhaginah menyampaikan hal itu kepada Abu Bakar , terpikir untuk  mendirikan mesjid kecil di halaman rumahnya. Kemudian Abu Bakar  biasa mengerjakan shalat dan membaca al Qur’an disana . Tetapi  yang terjadi di luar perkiraan..para istri dan anak-anak orang musyrik berdesak-desakan di pintu karena takjub dan ingin menyaksikan Abu Bakar yang sering menangis dalam ibadahnya ! ..Akibatnya hal ini kembali  menggoncangkan tokoh-tokoh musyrik Quraisy dan mereka merasa terancam oleh tangisan  Abu Bakar..
UMAR BIN KHATAB
AL faruq , pengganti khalifah Rasulullah SAW, seorang laki-laki yang dengannya Allah menjadikan Islam gilang-gemilang. Dialah syahidul Mihrab (yang gugur sebagai syahid di Mihrab). Umar bin Khatab bin Nufail bin Abdul uzza bin Riyadh bn Abdullah bin razah bin Adi bin Ka’ab bin Ghalib Al Qurasyi Al Adawi, Abu Hafsh,  – dialah orang pertama yang dipanggil dengan Amirul Mukminin. Di masa kekhilafahannya banyak negeri di bebaskan dari kemusyrikan. Keutamaannya sangat banyak. Abu Bakar dan dia adalah dua orang wazir serta menteri Rasulullah dan keduanya adalah tetua dari para pemuka penghuni surga.
Ibnu Mas’ud berkata, “ Islamnya Umar adalah kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan kepemimpinannya adalah kasih sayang,” Selain segala ke’perwiraan” Umar, maka diapun adalah pemilik hati yang lembut dan sensitif. Abdullah bin Syidad berkisah,” “ Saya pernah mendengar suara sesenggukan Umar saat membaca  ayat :”…bahwasanya aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku kepada Allah (Yusuf : 86)
Ibnu Umar pun berkata, “ aku pernah mengerjakan shalat di belakang Umar dan kudengar isak tangisnya dari shaf ketiga . Sahabat yang lain mengatakan “ Umar pernah mengimami kami shalat Fajar maka Umar membaca surah Yusuf dari awal dan ketika sampai ayat “ Dan kedua mamenjadi putih karena sedih. Dia diam menahan amarah (kepada anak-anaknya) Yusuf 84 :…. Umar menangis sehingga suara sesenggukannya terdengar sampai shaff belakang. Maka Uqbah membacakannya dan Umar menangis keras, lantas berkata ‘” Aku tidak pernah menyangka bahwa ini telah diturunkan..”
Hafsh Bin Humaid meriwatkan dari Syamar bin Athiyyah, bahwa apabila Umar bin Khattab membaca ayat  QS Maryam : 71  “ Dan tidak seorangpun dari kalian yang tidak melewatinya (neraka)..”
Maka Umar menangis dan berkata,’ Wahai Rabbku, aku termasuk yang engkau selamatkan atau yang engkau  biarkan di dalamnya dalam keadaan berlutut?”..
ABDURRAHHMAN BIN AUF
Panggilannya Abu Muhammad . Beliau adalah salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga dan salah seorang dari enam orang Ahlusy syura yang dibentuk oleh Umar bin Khatab. Beliau juga seorang yang turut serta dalam perang Badar. Sa’ad bin Ibrahim mengkisahkan “ Pada suatu ketika seseorang mengantarkan makan malam Abdurrahman bin Auf yang mana siangnya dia berpuasa. Saat dia membaca QS Muzzamil 12-12..” Sungguh, disisi kami ada belenggu-belenggu (yang berat) dan neraka yang menyala-nyala, dan (ada) makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih…”  Maka Abdurrahman menangis terus dan terus menangis sampai makanannya di bawa masuk lagi. Dia tidak makan malam  padahal siangnya berpuasa.!

ABU HURAIRAH
Al Imam Al Afaqih Al Mujtahid Al Hafizh Abu Hurairah Ad Dausy Al Yamaniy, penghulu para hafizh yang terpercaya.  Sulaiman bin Muslim bin Jammaz menyatakan pernah mendengar Abu Ja’far menyampaikan bahwa pada saat Abu Hurairah radiallahu anhu membaca surat At takwir, dia bersedih seakan-akan ditinggal mati kerabatnya.

AISYAH
Aisyah binti Abu Bakar Ash shiddiq Al Qurasyiyah At tamimiyah al Makiyyah , Istri Nabi SAW dan wanita yang paling memahami urusan agama secara mutlak.
Abu dhuha meriwayatkan dari seseorang yang mendengar dari Aisyah Ra saat dia membaca ayat :
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu…(AL Ahzab : 33)
“Dia menangis sampai kerudungnya basah. Aisyah menangis karena menyesal telah pergi ke Basrah, dan keluar rumah saat perang Jamal. Qasim berkata,” Saat aku berkeliling di pagi hari, aku biasa memulainya dengan rumah Aisyah; kuucapkan salam kepadanya. Suatu pagi aku ke sana kudapati ia asedang bertasbih (mengerjakan shalat) dan membaca :
“ Maka Alah memberi karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka (Ath Thur; 27)
Dia berdoa sambil menangis. Dia mengulang-ulangnya .Aku berdiri menunggu sampai bosan.  Karenanya aku pergi ke pasar berbelanja dan kemudian kembali ker rumah Aisyah. Ternyata dia masih berdiri seperti saat kutinggalkan. Dia shalat sambil menangis…(Muhammad Syauman Ar Ramli , Aqwam 2007)
“ Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila (Al Qur’an ) dibacakan kepada mereka , mereka menyungkurkan wajah, bersujud dan mereka berkata “Maha suci rabb kami; sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi,” Dan mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereke bertambah khusyuk” (Al- Isra 107-109) -Lr-
7

Oase Iman Terbaru


"FENOMENA BERSATUNYA PEJUANG ISLAM SELURUH BUMI"

Brosureblm selesai copyHari & Tanggal       : Sabtu, 07 Rabiul Awal 1434 H Waktu : Ba’da Isya (Isya Berjama’ah)
Tema : Fenomena Bersatunya Pejuang Islam Di Seluruh Dunia
Pembicara : 1. Ustadz M Fachry (Pemred Al-Mustaqbal.net)
2. Ustadz Bachrum (Pe-Ta)
Tempat : Masjid Al-Islam, Babakan Alamat : Jl. Raya Puspitek, Babakan Kelapa dua, Tangsel
Mari sinergiskan langkah dan peduli dengan kondisi umat Islam di mana pun, termasuk untuk menegakkan Islam (iqomatud dien), Semoga Allah SWT., meringankan langkah antum semua untuk perjuangan yang sangat berharga ini. Amin Ya Robbal Alamin. Allahu Akbar!


Membina Rumah Tangga yang Sakînah


Penulis: Buletin Al Ilmu Jember
Setiap insan yang hidup pasti menginginkan dan mendambakan suatu kehidupan yang bahagia, tentram, sejahtera, penuh dengan keamanan dan ketenangan atau bisa dikatakan kehidupan yang sakinah, karena memang sifat dasar manusia adalah senantiasa condong kepada hal-hal yang bisa menentramkan jiwa serta membahagiakan anggota badannya, sehingga berbagai cara dan usaha ditempuh untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut.
Pembaca yang budiman, sesungguhnya sebuah kehidupan yang sakinah, yang dibangun diatas rasa cinta dan kasih sayang, tentu sangat berarti dan bernilai dalam sebuah rumah tangga. Betapa tidak, bagi seorang pria atau seorang wanita yang akan membangun sebuah rumah tangga melalui tali pernikahan, pasti berharap dan bercita-cita bisa membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah, ataupun bagi yang telah menjalani kehidupan berumah tangga senantiasa berupaya untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut.
HAKEKAT KEHIDUPAN RUMAH TANGGA YANG SAKINAH
Pembaca yang budiman, telah disebutkan tadi bahwasanya setiap pribadi, terkhusus mereka yang telah berumah tangga, pasti dan sangat berkeinginan untuk merasakan kehidupan yang sakinah, sehingga kita menyaksikan berbagai macam cara dan usaha serta berbagai jenis metode ditempuh, yang mana semuanya itu dibangun diatas presepsi yang berbeda dalam mencapai tujuan kehidupan yang sakinah tadi. Maka nampak di pandangan kita sebagian orang ada yang berusaha mencari dan menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya, karena mereka menganggap bahwa dengan harta itulah akan diraih kehidupan yang sakinah. Ada pula yang senantiasa berupaya untuk menyehatkan dan memperindah tubuhnya, karena memang di benak mereka kehidupan yang sakinah itu terletak pada kesehatan fisik dan keindahan bentuk tubuh. Disana ada juga yang berpandangan bahwa kehidupan yang sakinah bisa diperoleh semata-mata pada makanan yang lezat dan beraneka ragam, tempat tinggal yang luas dan megah, serta pasangan hidup yang rupawan, sehingga mereka berupaya dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan itu semua. Akan tetapi, pembaca yang budiman, perlu kita ketahui dan pahami terlebih dahulu apa sebenarnya hakekat kehidupan yang sakinah dalam sebuah kehidupan rumah tangga.
Sesungguhnya hakekat kehidupan yang sakinah adalah suatu kehidupan yang dilandasi mawaddah warohmah (cinta dan kasih sayang) dari Allah subhanahu wata’ala Pencipta alam semesta ini. Yakni sebuah kehidupan yang dirihdoi Allah, yang mana para pelakunya/orang yang menjalani kehidupan tersebut senantiasa berusaha dan mencari keridhoan Allah dan rasulNya, dengan cara melakukan setiap apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah dan rasulNya.
Maka kesimpulannya, bahwa hakekat sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah adalah terletak pada realisasi/penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan berumah tangga yang bertujuan mencari ridho Allah subhanahu wata’ala. Karena memang hakekat ketenangan jiwa (sakinah) itu adalah ketenangan yang terbimbing dengan agama dan datang dari sisi Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana firman Allah (artinya):
“Dia-lah yang telah menurunkan sakinah (ketenangan) ke dalam hati orang-orang yang beriman agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (Al Fath: 4)
BIMBINGAN RASULULLAH DALAM KEHiDUPAN BERUMAH TANGGA
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selaku uswatun hasanah (suri tauladan yang baik) yang patut dicontoh telah membimbing umatnya dalam hidup berumah tangga agar tercapai sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah. Bimbingan tersebut baik secara lisan melalui sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam maupun secara amaliah, yakni dengan perbuatan/contoh yang beliau shalallahu ‘alaihi wasallam lakukan. Diantaranya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menghasung seorang suami dan isteri untuk saling ta’awun (tolong menolong, bahu membahu, bantu membantu) dan bekerja sama dalam bentuk saling menasehati dan saling mengingatkan dalam kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Nasehatilah isteri-isteri kalian dengan cara yang baik, karena sesungguhnya para wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya (paling atas), maka jika kalian (para suami) keras dalam meluruskannya (membimbingnya), pasti kalian akan mematahkannya. Dan jika kalian membiarkannya (yakni tidak membimbingnya), maka tetap akan bengkok. Nasehatilah isteri-isteri (para wanita) dengan cara yang baik.” (Muttafaqun ‘alaihi. Hadits shohih, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dalam hadits tersebut, kita melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing para suami untuk senantiasa mendidik dan menasehati isteri-isteri mereka dengan cara yang baik, lembut dan terus-menerus atau berkesinambungan dalam menasehatinya. Hal ini ditunjukkan dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ
yakni “jika kalian para suami tidak menasehati mereka (para isteri), maka mereka tetap dalam keadaan bengkok,” artinya tetap dalam keadaan salah dan keliru. Karena memang wanita itu lemah dan kurang akal dan agamanya, serta mempunyai sifat kebengkokan karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok sebagaimana disebutkan dalam hadits tadi, sehingga senantiasa butuh terhadap nasehat.
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga bahkan ini dianjurkan bagi seorang isteri untuk memberikan nasehat kepada suaminya dengan cara yang baik pula, karena nasehat sangat dibutuhkan bagi siapa saja. Dan bagi siapa saja yang mampu hendaklah dilakukan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama itu nasehat.” (HR. Muslim no. 55)
Maka sebuah rumah tangga akan tetap kokoh dan akan meraih suatu kehidupan yang sakinah, insya Allah, dengan adanya sikap saling menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan.
DIANTARA TIPS/CARA MERAIH KEHIDUPAN YANG SAKINAH
1. Berdzikir
Ketahuilah, dengan berdzikir dan memperbanyak dzikir kepada Allah, maka seseorang akan memperoleh ketenangan dalam hidup (sakinah). Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Ketahuilah, dengan berdzikir kepada Allah, (maka) hati (jiwa) akan (menjadi) tenang.” (Ar Ra’d: 28)
Baik dzikir dengan makna khusus, yaitu dengan melafazhkan dzikir-dzikir tertentu yang telah disyariatkan, misal:
أَسْتَغْفِرُالله ,
dan lain-lain, maupun dzikir dengan makna umum, yaitu mengingat, sehingga mencakup/meliputi segala jenis ibadah atau kekuatan yang dilakukan seorang hamba dalam rangka mengingat Allah subhanahu wata’ala, seperti sholat, shoum (puasa), shodaqoh, dan lain-lain.
2. Menuntut ilmu agama
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ
“Tidaklah berkumpul suatu kaum/kelompok disalah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid), (yang mana) mereka membaca Al Qur`an dan mengkajinya diantara mereka, kecuali akan turun (dari sisi Allah subhanahu wata’ala) kepada mereka as sakinah (ketenangan).” (Muttafaqun ‘alaihi. Hadits shohih, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dalam hadits diatas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira bagi mereka yang mempelajari Al Qur`an (ilmu agama), baik dengan mempelajari cara membaca maupun dengan membaca sekaligus mengaji makna serta tafsirnya, yaitu bahwasanya Allah akan menurunkan as sakinah (ketenangan jiwa) pada mereka.
Pembaca yang budiman, demikianlah diantara beberapa hal yang bisa dijadikan tips untuk meraih dan membina rumah tangga yang sakinah. Wallahu a’lam. Semoga kajian ringkas ini dapat kita terapkan dalam hidup berkeluarga sehingga Allah menjadikan keluarga kita keluarga yang sakinah mawaddah warohmah. Amiin, Ya Rabbal alamiin.
Sumber: http://www.assalafy.org/artikel.php?kategori=akhlaq=8

Kisah-kisah Salafus Sholih yang Mengagumkan
Telah terdapat kisah-kisah tentang kuatnya sikap itsar yang sangat mengagumkan dari para generasi terbaik sepanjang zaman, sikap mengagumkan dari para murid-murid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum, betapa mereka benar-benar mempraktekkan di kehidupan sehari-hari mereka sikap mendahulukan orang lain daripada diri mereka sendiri.
Kemuliaan mereka para sahabat disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku (sahabat) , kemudian setelah mereka (Tabi’in), kemudian setelah mereka (Tabi’ut tabi’in)” (HR. Bukhari no.3651, Muslim no.2533)
Kisah pertama: Kisah tiga orang sahabat nabi yang terluka ketika Perang Yarmuk
Dari Abdullah bin Mush’ab Az Zubaidi dan Hubaib bin Abi Tsabit, keduanya menceritakan, “Telah syahid pada perang Yarmuk al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amr. Mereka ketika itu akan diberi minum, sedangkan mereka dalam keadaan kritis, namun semuanya saling menolak. Ketika salah satu dari mereka akan diberi minum dia berkata, “Berikan dahulu kepada si fulan”, demikian seterusnya sehingga semuanya meninggal dan mereka belum sempat meminum air itu. Dalam versi lain perawi menceritakan, “Ikrimah meminta air minum, kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya, maka Ikrimah berkata, “Berikan air itu kepadanya.” Dan ketika itu Suhail juga melihat al-Harits sedang melihatnya, maka iapun berkata, “Berikan air itu kepadanya (al Harits)”. Namun belum sampai air itu kepada al Harits, ternyata ketiganya telah meninggal tanpa sempat merasakan air tersebut (sedikitpun). (HR Ibnu Sa’ad dalam ath Thabaqat dan Ibnu Abdil Barr dalam at Tamhid, namun Ibnu Sa’ad menyebutkan Iyas bin Abi Rabi’ah sebagai ganti Suhail bin Amr)
Kedua: Kisah sahabat Nabi yang kedatangan tamu
Ada salah seorang sahabat yang kedatangan seorang tamu, kemudian sahabat tersebut bertanya kepada istrinya, “Apakah kamu memiliki sesuatu untuk menjamu tamu. Istrinya pun menjawab, “Tidak ada, hanya makanan yang cukup untuk anak-anak kita”. Lalu sahabat tersebut berkata, “Sibukkanlah anak-anak kita dengan sesuatu (ajak main), kalau mereka ingin makan malam, ajak mereka tidur. Dan apabila tamu kita masuk (ke ruang makan), maka padamkanlah lampu. Dan tunjukkan kepadanya bahwa kita sedang makan bersamanya. Mereka duduk bersama, tamu tersebut makan, sedangkan mereka tidur dalam keadaan menahan lapar. Tatkala pagi, pergilah mereka berdua (sahabat dan istrinya) menuju Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memberitakan (pujian Allah Ta’ala terhadap mereka berdua), “Sungguh Allah merasa heran/kagum dengan perbuatan kalian berdua terhadap tamu kalian). maka Allah menurunkan ayat (QS. Al Hasyr ayat 9)(HR Bukhari dan Muslim)
Ketiga: Kisah sahabat Nabi yang diberi hadiah
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Salah seorang dari sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam diberi hadiah kepala kambing, dia lalu berkata, “Sesungguhnya fulan dan keluarganya lebih membutuhkan ini daripada kita.” Ibnu Umar mengatakan, “Maka ia kirimkan hadiah tersebut kepada yang lain, dan secara terus menerus hadiah itu dikirimkan dari satu orang kepada yang lain hingga berputar sampai tujuh rumah, dan akhirnya kembali kepada orang yang pertama kali memberikan.” (Riwayat al Baihaqi dalam asy Syu’ab 3/259)
Subhanallah, inilah akhlak generasi terbaik sepanjang masa, inilah teladan yang benar-benar dibutuhkan di masa ini, agar benar-benar terjalin persaudaraan yang kuat, ukhuwah yang erat, serta mendatangkan berkah dan rahmat dari Allah Rabbul ‘alamiin. Mudah-mudahan kita di mudahkan oleh Allah Ta’ala di dalam meneladani Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan di kumpulkan bersama mereka di Jannatin Na’im (surga yang penuh kenikmatan).
Washallallahu ‘ala nabiyina  Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamiin.

Ulama Salaf Dalam Kejujuran dan Keikhlasan

Diriwayatkan dari Bakar bin Ma’iz bahwa ia berkata, “ar-Rabi’ tidak pernah terlihat shalat sunnah di masjid masyarakat kampungnya kecuali sekali seumur hidupnya.”
Dari Sufyan diriwayatkan bahwa ia berkata, “Murayyah ar-Rabi’ bin Khutsaim pernah mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya amal perbuatan ar-Rabi’ seluruhnya dilakukan dengan diam-diam. Bilamana seseorang datang, sementara beliau tengah membaca al-Quran, beliau segera menutupi mushhafnya dengan bajunya.’”
Dari Mundzir, dari Rabi’ bin Khutsaim diriwayatkan bahwa ia berkata, “Segala sesuatu yang dilakukan tidak untuk mencari wajah Allah, pasti sia-sia.”[1]
Dari Abu Hamzah ats-Tsumali diriwayatkan bahwa ia berkata, “Dahulu ‘Ali bin Husein biasa memanggul karung makanan setiap malam untuk disedekahkan. Dan beliau pernah berkata, ‘Sesungguhnya sedekah yang dilakukan secara diam-diam dapat memadamkan kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla.’”
Dari ‘Amru bin Tsabit diriwayatkan bahwa ia berkata, “Tatkala ‘Ali bin Husein meninggal dunia dan orang-orang memandikan jenazahnya, tiba-tiba mereka melihat bekas-bekas menghitam dipunggungnya. Mereka lantas bertanya, ‘Apa ini?’ Sebagian mereka menjawab, ‘Beliau biasa memanggul karung gandum di waktu malam untuk dibagikan kepada orang-orang fakir di Madinah.’”
Dari Ibnu ‘Aisyah diriwayatkan bahwa ia berkata, “Ayahku pernah berkata, ‘Aku pernah mendengar penduduk Madinah mengatakan, ‘Kami terus-menerus mendapatkan sedekah misterius, hingga meninggalnya ‘Ali bin Husein.’”[2]
Catatan kaki:
[1] Shifatush Shafwah, III:61
[2] Shifatush Shafwah, II:96
Dikutip dari buku Sudah Salafikah Akhlak Anda, hal.21-22, Penerbit Pustaka At-Tibyan

Penghalang-Penghalang dalam Menuntut Ilmu

Ilmu adalah cahaya yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Tidak diragukan lagi kedudukan orang yang berilmu disisi Allah adalah lebih tinggi beberapa derajat. Hanya orang-orang yang berilmu & berakal lah manusia dapat memahami kebesaran Allah melalui penciptaan alam semesta beserta segala isinya.
Demikian mulia kedudukan orang yang berilmu sehingga Rasulullah meriwayatkan dalam sebuah hadis :
“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu maka Allah mudahkan jalannya menuju syurga. Sesungguhnya malaikat akan membuka sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan di atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar, tidak juga dirham, Yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yangmengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bahgian yang paling banyak. (1)
Siapa kah orang yang tidak mau di doakan oleh malaikat dan makhluk-makhluk Allah yang ada di bumi?? Sungguh hal tersebut adalah suatu kemuliaan yang besar.
Seperti kata pepatah “No pain, no gain” (tidak ada yang akan kita dapatkan tanpa pengorbanan) , maka untuk mencapai kemuliaan yang bernama ilmu itu pasti ada cubaan yang harus kita hadapi.
Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat menghalangi sampainya kemuliaan ilmu kepada seseorang :
1. Niat yang rosak
Niat adalah dasar dan rukun amal. Apabila niat itu rusak maka rusaklah seluruh amalannya. Sebagaimana sabda Rasulullah “Amal itu tergantug niatnya, dan seseorang akan mendapatkan apa yang diniatkan…” (2)
Imam Malik bin Dinar (wafat th.130 H) rahimahullah mengatakan,”Barangsi apa mencari ilmu bukan karena Allah Ta’ala maka ilmu itu akan menolaknya hingga ia dicari hanya karena Allah.”
2. Ingin Terkenal dan Ingin Tampil
Coba kita ingat mungkin terkadang saat kita belajar terbersit di hati kita “Supaya jadi rangking 1 atau jadi juara umum dan dikenal orang?? Ya, ingin terkenal dan ingin tampil adalah penyakit kronik. Tidak seorang pun yang bisa selamat darinya kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhana Wa Ta’ala. Hal itu lebih dikenal dengan sebutan riya. Rasulullah sangat mengkhawatirkan adanya penykit ini pada umatnya. Karena seringkali penyakit itu halus hingga muncul tanpa kita sadari, hingga Rasulullah mengibaratkan bahwa penyakit riya itu seperti semut hitam, di batu hitam pada malam yang gelap. Bayangkan, hampir tak kelihatan kan?? So, be careful.
Rasulullah bersabda,”….sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah kesyirikan dan syahwat tersembunyi.” (3)
Mahmud bin Ar-Rabi berkata : “syahwat yang tersembunyi maksudnya adalah seseorang ingin / senang apabila kebaikannya dipuji oleh orang lain. Hendaknya kita behati-hati terhadap penyakit ini, karena Allah memperingatkan dalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi Wassallam :
“Barangsiapa yang menyiarkan amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya. Dan banrangsiapa yang beramal karena riya maka Allah akan membuka niatnya di hadapan manusia pada hari kiamat.” (4) Naudzubillahi mindzalik.
3. Lalai Menghadiri Majlis Ilmu
Jika kita tidak memanfaatkan majlis ilmu yang dibentuk dan pelajaran yang disampaikan, niscaya kita akan gigit jari sepenuh penyesalan. Kalau kebaikan yang ada di majlis ilmu hanya berupa ketenangan dan rahmat Allah yang meliputi mereka, maka dua alasan itu saja seharusnya sudah cukup sebagai pendorong untuk menghadirinya. Apalagi jika seseorang mengetahui bahwa orang yang menghadiri majlis ilmu –insyaAllah- mendapatkan dua keberuntungan, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ganjaran pahala di akhirat!
4. Beralasan dengan banyaknya kesibukan
Alasan ini seringkali dijadikan syaitan sebagai alasan menjadi penghalang dalam menuntut ilmu. Coba dihitung, Allah memberikan kita 24 jam, 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk istirihat, masih ada 8 jam lagi… apa yang selama ini telah kita lakukan untuk memanfaatkan sisa waktu itu?
5. Menyia-nyiakan kesempatan belajar di waktu kecil
Allah Ta’ala berfirman : ”Dan beribadahlah kepada Rabb-mu hingga datangnya kematian.” (QS.Al-Hijr : 99)
Karena itu, mari kita semua para remaja, maupun orang tua, laki-laki maupun wanita, kita bertaubat pada Allah Ta’ala atas apa yang telah luput dan berlalu. Sekarang, kita mulai menuntut ilmu, menghadiri majlis ta’lim, belajar dengan benar dan sungguh-sungguh dan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya sebelum ajal tiba.
Ketika ditanya pada Imam Ahmad, ”Sampai kapankah seseorang harus menuntut ilmu?” Beliau pun menjawab ”sampai meninggal dunia.”
6. Bosan dalam menuntut ilmu
Diantara penghalang menuntut ilmu adalah merasa bosan dan beralasan dengan berkonsentrasi mengikuti peristiwa yang sedang terjadi. Ilmu yang kita cari seharusnya mendorong kita untuk mengetahui keadaan kita sendiri. Kita tidak akan bisa mengatasi berbagai masalah dan musibah yang menimpa kecuali dengan meletakkannya pada timbangan syariat. Seorang penyair mengatakan : ” Syariat adalah timbangan semua permasalahan dan saksi atas akar masalah dan pokoknya” (5)
Bosan itu adalah penyakit. Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan ada obatnya. Tidaklah musibah terjadi melainkan ada penyelesaiannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, kita harus melawan rasa bosan yang terkadang timbul saat kita belajar. Belajarlah sampai Anda mendapatkan nikmatnya ilmu.
7. Menilai Baik Diri Sendiri
Maksudnya adalah merasa bangga apabila dipuji dan merasa senang apabila mendengar orang lain memujinya. Allah TA’ala berfirman : ”Maka janganlah kamu merasa dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm : 32)
8. Tidak Mengamalkan Ilmu
Tidak Mengamalkan Ilmu merupakan salah satu sebab hilangnya keberkahan ilmu. Allah Ta’ala benar-benar mencela orang yang melakukan ini dalam firmanNya : ”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan hal yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan (QS.Ash-Shaff : 3)
9. Putus Asa dan Rendah Diri
Allah berfirman : “Dan Allah mengeluarkankamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl : 78)
Putus Asa dan Rendah Diri adalah salah satu penghalang ilmu. Semua manusia diciptakan dalam keadaan sama yang tidak mengetahui sesuatu pun. Jangan merasa rendah diri dengan lemahnya kemampuan menghafal, lambat membaca atau cepat lupa. Selain itu menjauhi maksiat adalah sebab paling utama dalam menguatkan hafalan dan memperoleh ilmu.
10. Terbiasa Menunda-Nunda
Yusuf bin Asbath rahimahullah mengatakan : ”Muhammad bin samurah pernah menulis surat kepadaku sebagai berikut : ” Wahai saudaraku janganlah sifat menunda-nunda menguasai jiwamu dan tertanam di hatimu karena ia membuat lesu dan merusak hati. Ia memendekkan umur kita, sedangkan ajal segera tiba… Bangkitlah dari tidurmu dan sadarlah dari kelalaianmu! Ingatlah apa yang telah engkau kerjakan, engkau perlekehkan, engkau sia-siakan, engkau hasilkan dan apa yang telah engkau lakukan. Sungguh semua itu akan dicatat dan dihisab sehingga seolah-olah engkau terkejut dengannya dan engkau sadar dengan apa yang telah engkau lakukan, atau menyesali apa yang telah engkau sia-siakan.” (6)
11. Belajar kepada Ahlul Bid’ah
Seorang penuntut ilmu tidak boleh belajar pada ahlul bid’ah karena ahlul bid’ah merasa ridha terhadap sesuatu yang menyelisishi agama Allah, seolah-olah ia mengatakan bahwa Allah Ta’ala belum menyempurnakan agama ini dan Rasulullah belum menyampaikan seluruh risalah.
12. Tergesa-gesa ingin memetik buah ilmu
Seorang penuntut ilmu tidak boleh tergesa-gesa dalam usahanya memperoleh ilmu, karena belajar adalah proses seumur hidup. Terutama yang berkaitan dalam masalah agama tidak cukup dilakukan dalam waktu satu atau dua tahun belajar.Imam Yahya bin Abi Katsir rahimahullah mengatakan,”Ilmu tidak bisa diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan”
Imam Ibnu Madini rahimahullah mengatakan,”Dikataka n kepada Imam As-Sya’bi ’Darimana Anda peroleh semua ilmu ini?’ Beliau menjawab,’Dengan tidak bergantung pada manusia, menjelajahi berbagai negeri, bersabar seperti sabarnya benda mati, dan berpagi-pagi mencarinya seperti pagi-paginya burung gagak.”
Disarikan dari : Menuntut Ilmu Jalan Menuju Syurga, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas (Pustaka At-Takwa : 1428 H)
Catatan Kaki:
Hadist Shahih, diriwayatkan oleh ahmad, abu Dawud, attirmidzi, Ibnu Majjah dan Ibnu Hibban [1]
hadist shahih riwayat Al-Bukhari [2]
hadist shahih riwayat Thabrani [3]
HR.Bukhari-shahih [4]
Ishlaahul Masaajid minal Bida’ wal Awaa’id hal.110, karya al-Allamah Muhammad bin Jamaluddin al-Qasimi rahimahullah [5]
dari Iqtida al-Ilmi al’amal [6


"Keutamaan dan Adab Menuntut Ilmu -2 serta Perkara Yang Harus Dijauhi Oleh Penuntut Ilmu"

03 April, 2012

ADAB PENUNTUT ILMU

Adab dalam menuntut ilmu adalah perkara yang sangat penting, maka dari itu para ulama senantiasa memperhatikan adab-adab tersebut.
Berikut adalah sambungan dari artikel

Suatu ketika Imam Laits Bin Sa’ad melihat para penuntut hadits, kemudian beliau melihat ada kekurangan dalam adab mereka, maka beliau berkata: “Apa ini!, sungguh belajar adab walaupun sedikit lebih kalian butuhkan dari pada kalian belajar banyak ilmu". (Al-Jami’:1/405)


Imam Adz-Dzahabi berkata: “Penuntut ilmu yang datang di majelis imam Ahmad lima ribu orang atau lebih, lima ratus menulis hadits, sedangkan sisanya duduk untuk mempelajari akhlaq dan adab beliau”. (Siyar A’lamun Nubala’:11/316)

Berkata Abu Bakar Bin Al-Muthowi’i: “Saya keluar masuk di rumah Abu Abdillah (Imam Ahmad Bin Hambal) selama 12 tahun sedangkan beliau sedang membacakan kitab Musnad kepada anak-anaknya. Dan selama itu saya tidak pernah menulis satu hadits pun dari beliau, hal ini disebabkan karena saya datang hanya untuk belajar akhlaq dan adab beliau”. (Siyar A‘lamun Nubala’:11/316)

Berkata Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri -rahimahullah-: “Mereka dulu tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu hingga mereka belajar adab dan dididik ibadah hingga 20 tahun”. (Hilyatul-Aulia Abu Nuaim 6/361)

Berkatalah Abdullah bin Mubarak -rahimahullah-: “Aku mempelajari adab 30 tahun dan belajar ilmu 20 tahun, dan mereka dulu mempelajari adab terlebih dahulu baru kemudian mempelajari ilmu”. (Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro 1/446)

Dan beliau juga berkata: “Hampir-hampir adab menimbangi 2/3 ilmu”. (Sifatus-shofwah Ibnul-Jauzi 4/120)

Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sanadnya kepada Malik bin Anas, dia berkata bahwa Muhammad bin Sirrin berkata (-rahimahullah-): “Mereka dahulu mempelajari adab seperti mempelajari ilmu”. (Hilyah: 17. Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/49)

Berkata Abullah bin Mubarak: “Berkata kepadaku Makhlad bin Husain -rahimahullah-: “Kami lebih butuh kepada adab walaupun sedikit daripada hadits walaupun banyak”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)

Mengapa demikian ucapan para ulama tentang adab? Tentunya karena ilmu yang masuk kepada seseorang yang memiliki adab yang baik akan bermafaat baginya dan kaum muslimin.

Berkata Abu Zakariya Yaha bin Muhammad Al-Anbari -rahimahullah-: “Ilmu tanpa adab seperti api tanda kayu bakar sedangkan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)

Adab menuntut ilmu sangat banyak, diantaranya yang paling penting adalah:

1. Menuntut ilmu adalah ibadah.

Dan ibadah tidak akan diterima oleh Allah kecuali dengan dua syarat:

A. Ikhlas karena untuk mencari ridho Allah ta’ala.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan semua agama kepadaNya(Al-Bayyinah:5)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي الله ورسوله فهجرته الي الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلي ما هاجر إليه

Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907])

Maka ketika Al-Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً

…untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)

Beliau berkata, “Yakni, yang paling ikhlas dan paling benar. Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar.

Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullah sholallohu’alaihi wasallam.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam I/36).

Ikhlas ini mahal dan berat, makanya para sahabat dahulu berusaha bagaimana supaya ikhlas. Maka sebagaimana perkataan Imam Ats-sauri :”tidak ada yang lebih sulit bagi diriku kecuali niatku” (mengikhlaskan niat).

Kalaulah imam yang besar seperti imam ats-sauri mengeluh atas susahnya ikhlas lalu bagaimana dengan kita-kita yang awam?

Sampai menuntut ilmu saja kalau tidak karena mengharapkan ganjaran Alloh ‘azza wa jalla, tidak akan mencium bau surga sebagaimana hadits dari Abu Hurairoh Rasulullah sholallohu’alaihi wasallam bersabda :

"Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk mencari wajah Allah 'Azza wa Jalla tetapi dia justru berniat untuk meraih bagian kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat" (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Hakim)

Amal kebaikan yang tidak terdapat keikhlasan di dalamnya hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka. Bahkan bukan hanya itu, ingatkah kita akan sebuah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa tiga orang yang akan masuk neraka terlebih dahulu adalah orang-orang yang beramal kebaikan namun bukan karena Allah?

Ya, sebuah amal yang tidak dilakukan ikhlas karena Allah bukan hanya tidak dibalas apa-apa, bahkan Allah akan mengazab orang tersebut, karena sesungguhnya amalan yang dilakukan bukan karena Allah termasuk perbuatan kesyirikan yang tak terampuni dosanya kecuali jika ia bertaubat darinya, Allah berfirman yang artinya,

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa : 48)


Imam Adzahabi dalam kitabnya Kitab Siyar A'lam An-Nubala (Perjalanan Hidup Orang-orang Mulia) menceritakan Seorang yang alim yang mengatakan “ aku belum pernah mengatakan aku menuntut ilmu ini semata-mata karena Alloh”, karena takutnya akan jatuh ria. Dan beliau Azahabi berkomentar ‘Wallohi wala anaa’. Demi Alloh, aku pun juga demikian…

Hal ini menggambarkan akan beratnya para ulama berusaha untuk berbuat ikhlas.

Dalam Hadits Qudsi :


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

” قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ؛ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي(*)، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ”.


(رواه مسلم (وكذلك ابن ماجه


Diriwayatkan dari Abi Hurairah radiyallohu’anhu, beliau berkata, Telah bersabda Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam, “Telah berfirman Allah tabaraka wa ta’ala (Yang Maha Suci dan Maha Luhur), Aku adalah Dzat Yang Maha Mandiri, Yang Paling tidak membutuhkan sekutu; Barang siapa beramal sebuah amal menyekutukan Aku dalam amalan itu(*), maka Aku meninggalkannya dan sekutunya


Diriwayatkan oleh Muslim (dan begitu juga oleh Ibnu Majah). *). Adalah juga termasuk syirik jika seseorang beramal dengan amalan disamping ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Taála juga ditujukan kepada yang selain-Nya.

Maka Ikhlas merupakan asas dalam beramal. Seorang hamba akan terus berusaha untuk melawan iblis dan bala tentaranya hingga ia bertemu dengan Sang Khalik kelak dalam keadaan iman dan mengikhlaskan seluruh amal perbuatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang dapat membantu kita agar dapat mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kita kepada Allah semata, dan di antara hal-hal tersebut adalah dengan banyak berdo’a.

Lihatlah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah doa:


اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا،وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً


Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima.” (HR Ibnu As-Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, no. 54, dan Ibnu Majah n0. 925. Isnadnya hasan menurut Abdul Qadir dan Syu’aib al-Arna’uth dalam taqiq Zad Al-Maad 2/375).

B. Mutaba’ah (Mengikuti petunjuk Rosulillah).

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah (wahai Muhammad) jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian. (Ali ‘Imron:31)

Rosulullah bersabda : “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan tanpa petunjuk kami maka amalan tersebut tertolak”. (H.R Muslim)

2. Berjalan diatas metode para Ulama Salaf (Ahlus Sunah Wal Jama’ah)

Muhamad Bin Sirin berkata : “Sesungguhnya ilmu adalah agama maka lihatlah dari mana kalian mengambil agama kalian”. (Muqodimah Shohih Muslim:1/14)

Beliau juga berkata : “Dahulu para ulama sahabat tidak pernah bertanya tentang Sanad (tali rantai para Rowi), dan ketika terjadi fitnah (wafat Utsman) maka mereka bertanya: ‘Siapa Rowi-Rowi kalian?’. Maka dilihat, jika Rowinya seorang Ahlus Sunah maka mereka akan mengambil haditsnya, dan jika rowinya Ahlul Bid’ah maka mereka menolak haditsnya”. (Modimah Shohih Muslim:1/15)

3. Hati-hati dalam memilih pengajar dan guru.

Imam Malik Bin Anas berkata: “Tidak boleh mengambil ilmu dari empat orang: Orang yang bodoh walaupun hafalannya banyak (bagaikan orang yang berilmu), Ahlil bid’ah yang menyeru kepada kesesatannya, Orang yang terbiasa berdusta ketika berbicara dengan manusia walaupun dia tidak berdusta ketika menyampaikan ilmunya, dan Orang yang sholeh, mulia dan rajin beribadah jika dia tidak hafal (dan faham) apa yang akan disampaikan”. (Siyar ‘Alamun Nubala’:8/61)

Imam Al-Khotib Al-Baghdadi berkata: “Seyogyanya bagi para penuntut ilmu untuk belajar kepada ulama’ yang ma’ruf akan agama dan amanahnya”. (Al-Faqif Wal Mutafaqqif:2/96)

4. Menghiasi diri dengan Taqwa, Takut dan Muroqobah (merasa dalam awasan Allah).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian bertaqwa kepada Allah maka niscaya Allah akan memberikan kepada kalian Furqon (ilmu sebagai pembeda) dan juga Allah akan hapuskan dosa-dosa kalian. (Al-Anfal:29)

Imam Ahmad berkata: “Pondasi ilmu agama adalah perasaan takut kepada Allah”. (Hilyah:13)

5. Mengamalkan ilmu yang telah dipelajari sekuat tenaga.

Hal ini sangat penting karena ilmu syar’i yang telah dipelajari adalah untuk diamalkan, bukan sekedar untuk dihafalkan. Para ulama menasehati kita bahwa menghafal ilmu dengan cara mengamalkannya. Hendaklah seorang penuntut ilmu mencurahkan perhatiannya untuk menghafalkan ilmu syar’i ini dengan mengamalkannya dan ittiba’. Sebagian Salaf mengatakan, “Kami biasa memohon bantuan dalam menghafalkan ilmu dengan cara mengamalkannya.”
[Lihat kitab Miftaah Daaris Sa’aadah (1/344) dan lqtidha’ al-’llmi al-’Amal (no. 149).]

Menuntut ilmu syar’i bukanlah tujuan akhir, tetapi sebagai pengantar kepada tujuan yang agung, yaitu adanya rasa takut kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya, takwa kepada-Nya, dan mengamalkan tuntutan dari ilmu tersebut. Dengan demikian, maka siapa saja yang menuntut ilmu bukan untuk diamalkan, niscaya ia diharamkan dari keberkahan ilmu, kemuliaannya, dan ganjaran pahalanya yang besar.
[Kaifa Tatahammas li Thalabil ‘Ilmi Syar’i (hal. 74),]

Allah Ta’ ala berfirman:
Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…” (QS. At-Taubah: 105)

Dan Surga diwariskan bagi orang yang mengamalkan Islam dengan benar, sebagaimana firman-Nya:
Dan itulah Surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf: 72)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti agar kita mengamalkan ilmu yang sudah diketahui (dipelajari), beliau bersabda,
Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan; tentang hartanya darimana ia peroleh dan ke mana ia habiskan; dan tentang tubuhnya-capek dan’ letihnya-untuk apa ia habiskan.
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2417), dari Shahabat Abu Barzah Nadhlah bin ‘Ubaid al-Aslami radhiyallaahu ‘anhu, At-Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan shahih, lihat Ash-Shohihah no:946"]

6. Sabar dalam menuntutnya.

Imam Yahya Bin Abi Katsir berkata : “Ilmu tidak diperoleh dengan jiwa yang enak (santai)”. ( Al-Jami’ : 1/91)

Imam As-Syafi’I berkata: “Seseorang Tidak akan sampai pada ilmu ini sampai ia ditimpa kefakiran (kemiskinan), dan kefaqiran tersebut lebih ia utamakan dari pada yang lainnya”. (Siyar:10/89)

Imam Abu Ahmad Nasr Bin Ahmad Bin Abbas Al-‘Iyadhi berkata: “Tidak akan memperoleh ilmu ini kecuali orang yang menutup warungnya, menghancurkan sawahnya, meninggalkan teman-temannya, dan meninggal dunia (wafat) salah satu diantara keluarganya tetapi ia tidak bisa menghadiri jenazahnya”. (Al-Jami’ Li Adabir Rowi no:1571)

7. Hendaknya menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia.

Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata : “Sesungguhnya seseorang jika menuntut ilmu, maka tidaklah berjalan beberapa waktu kecuali akan nampak pengaruh ilmu tersebut pada khusyu’nya, mata, lisan, tangan, sholat, dan zuhudnya”. (Al-Jami’:1/60)

Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As-Sa’di berkata: “Dan perkara yang harus ada pada orang yang berilmu adalah menghiasi dirinya dengan kandungan ilmu yang ia pelajari dari akhlaq yang mulia, mengamalkan ilmunya dan menyebarkannya kepada manusia. Orang yang berilmu adalah orang yang paling berhaq untuk menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia dan menjauhi dari akhlaq yang tidak baik, dia juga merupakan orang yang paling berhaq untuk mengamalkan kewajiban baik yang dhohir maupun yang batin dan menjauhi perkara yang haram, hal ini disebabkan karena mereka memiliki ilmu dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh orang lain, mereka adalah Qudwah (sori tauladan) bagi manusia dan manusia akan mengikuti mereka, dan juga dikarenakan mereka akan mendapatkan celaan lebih banyak ketika mereka tidak mengamalkan ilmunya dari pada orang yang tidak berilmu.

Dan sesungguhnya ulama-ulama salaf senantiasa menjadikan amal sebagai alat untuk menghafal ilmu, karena ilmu jika diamalkan maka akan kokoh dan dihafal, demikian juga akan semakin bertambah dan banyak barokahnya. Akan tetapi jika ilmu tidak diamalkan maka ia akan pergi dan barokahnya akan hilang. Maka ruh kehidupan ilmu adalah pengamalannya baik dengan akhlaq, mengajarkan, ataupun berda’wah”. (‘Awa’iqut Tholab:90 karya Syaikh Abdus Salam Bin Barjas)

8. Senantiasa meningkatkan semangat dalam menuntut ilmu.

Imam Ibnul Jauzi berkata: “Selayaknya bagi orang yang berakal untuk mencurahkan semua kemampuan dia (dalam menggapai cita-cita). Jika seandainya manusia mampu naik ke langit, maka kamu akan melihat bahwa orang yang paling hina adalah orang yang senantiasa puas dengan bumi.

Jika engkau mampu menyaingi para ulama maka lakukanlah, karena mereka adalah manusia dan engkau juga manusia yang memiliki akal, dan tidak ada orang yang selalu puas dengan apa yang sudah didapatkan kecuali orang yang paling malas dan lemah semangatnya.

Ketahuilah bahwa engkau sekarang berada di medan pertandingan dan waktu yang engkau miliki semakin habis, maka janganlah engkau bermalas-malasan. Sungguh tidaklah luput dari apa yang luput melainkan karena kemalasan, dan tidak diperoleh dari apa yang sudah tercapai kecuali disebabkan karena usaha dan semangat”. (Shoidul Khotir:159-161)

Dalam menuntut ilmu syar’i diperlukan kesungguhan. Tidak layak para penuntut ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan ilrnu yang berrnanfaat -dengan izin Allah- apabila kita bersungguh-sungguh dalam menuntutnya.

Imam asy-Syafi’i rahimahullaah pemah mengatakan dalam sya’irnya,
Saudaraku, engkau tidak akan mendapat ilmu, melainkan dengan enam perkara.
Kukabarkan kepadamu rinciannya dengan jelas
Kecerdasan, kemauan keras, bersungguh-sungguh, bekal yang cukup, bimbingan ustadz, dan waktunya yang lama.
[Diwaan lmam asy-Syafi’i (hal. 378). Cet. Daml Fikr, th. 1415 H.]

9. Mengikat ilmu dengan menulis dan sering Muroja’ah (mengulang-ulang) hafalan.

Dari Abdullah Bin Amr, Rosulullah bersabda: “Ikatlah ilmu!”, para Sahabat berkata: “Wahai Rosulullah apa pengikat ilmu?”. Beliau bersabda: “Tulisan”. (dihasankan oleh Syaikh Salim Bin Ied Al-Hilali dalam Manhajul Ambiya’ Fi Tazkiyatun Nufus:120)

Imam Asy-Syafi’i berkata:

Ilmu bagaikan binatang buruan sedang tulisan adalah tali kekang

Ikatlah binatang buruan kalian dengan tali yang kokoh lagi kencang

Sungguh termasuk kedunguan adalah ketika kamu berhasil mendapatkan kijang

Lalu di tengah orang kamu biarkan tanpa ikatan sehingga lepas dan melayang.
(Kitabul Ilmi:62)

Syaikh Utsaimin berkata: “Wajib atas para penuntut ilmu untuk semangat dalam mengulang-ulang dan mengikat pelajaran baik dengan menghafal atau menulisnya, hal ini disebabkan karena manusia adalah tempat untuk lupa. Maka jika seseorang belajar akan tetapi tidak muroja’ah maka ilmu yang ia dapatkan akan hilang dan lupa”. (Kitabul Ilmi:62)

10. Berdo’a kepada Allah ta’ala agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Diantara do’a yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ucapkan adalah:
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilrnu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima.
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Humaidi (1/143, no. 299), Ahmad (VI/322), Ibnu Majah (no. 925), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 110), dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 102), dari Shahabivah Ummu Salamah radhiyallaahu ’anha. Lihat Shahiih lbnu Majah (1/152, no. 753).]

Imam Ahmad berkata : “Sesungguhnya ilmu adalah pemberian (nikmat) yang Allah berikan kepada yang dikehendaki, dan tidaklah seseorang memperolehnya dengan kemuliaan nasabnya. Jika seandainya ilmu bisa diperoleh dengan nasab maka niscaya orang yang paling berhaq mendapatkanya adalah Ahli Bait Rosulillah”. (Ma’alim Fi Thoriq Tolabil Ilmi:56)

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Wahai para penuntut ilmu! Tingkatkan harapan kalian, kembalilah kepada Allah dengan berdo’a dan menghinakan diri dihadapanNya. Sungguh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah sering sekali jika susah di dalam memahami tafsir suatu ayat dalam Al-Qur’an, beliau mengucapkan dalam do’anya: “wahai Allah Dzat yang telah meng’ajarkan Nabi Adam dan Ibrohim ajarkanlah saya, wahai Allah Dzat yang telah memahamkan Nabi Sulaiman fahamkanlah saya”, kemudian setelah berdo’a seperti ini maka beliau diberikan kemudahan dalam memahami tafsirnya”. (Hilyah:58-59)

Juga do’ a beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
Ya Allah, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku. Dan tambahkanlah ilmu kepadaku.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3599) dan ibnu Majah (no. 251, 3833), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu’anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 2845) dan Shahiih Sunan lbni Majah (no. 203).]

11. Mengajarkan ilmu yang sudah didapatkan.

Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As-Sa’di berkata: “Dan diantara adab bagi orang yang berilmu dan para penuntut ilmu adalah saling menasehati dan menyebarkan ilmu yang bermanfaat sesuai dengan kemampuan. Walaupun seseorang hanya mengetahui satu masalah saja, kemudian ia ajarkan dan sebarkan maka ini adalah tanda barokah dari ilmunya, karena buah ilmumu adalah ketika manusia mengambil ilmu tersebut darimu.

Dan barang siapa yang bakhil dengan ilmunya, maka ilmunya akan mati dengan kematiannya, bahkan terkadang dia akan lupa dari ilmunya walupun dia masih hidup. Akan tetapi seseorang yang menyebarkan ilmunya, maka inilah kehidupan ilmunya yang kedua dan sebagai wacana untuk menghafal ilmunya, dan Allah akan mengganjarnya sesuai dengan amalannya”. (‘Awa’iqut Tholab:93)

Ilmu syar’i yang telah kita peroleh dan fahami bukanlah untuk kita sendiri. Namun, kita harus mendakwahkannya.

Dakwah ini harus dengan mengetahui syari’at Allah ‘Azza wa Jalla sehingga dakwah tersebut tegak di atas ilmu dan bashirah, berdasarkan firrnan Allah Ta’ala,

Katakanlah (Muhammad), inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Yang dimaksud bashirah dalam dakwah adalah seorang da’i harus mengetahui hukum syar’i, cara berdakwah, dan mengetahui keadaan orang yang menjadi objek dakwah.
[Syarah Tsalaatsatil Ushuul (hal. 22).]

Objek dakwah yang paling utama adalah keluarga dan kerabat kita karena Allah Ta’ ala berfirman,
Wahai orang-orang yang beriman, peliharah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6)

Mengenai pengertian ayat ini ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Didik dan ajarkanlah mereka.”

Ibnu ‘Abbas (wafat th. 68 H) radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allah, takutlah berbuat maksiat kepada-Nya, dan suruhlah keluarga kalian berdzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan kalian dari Neraka.”

12. Menghormati gurunya.

Imam An-Nawawi berkata: “Hendaknya orang yang ingin bertanya, ia beradab kepada muftinya (seorang ulama yang akan ditanya) dan menghormatinya dalam berbicara dengannya, dan hendaknya dia tidak menuding dengan jarinya kearah muka gurunya. Demikian juga tidak boleh berkata: ‘apa yang kamu hafal tentang masalah ini?’, atau berkata: ‘apa madzab gurumu atau Imam Syafi’i dalam masalah ini?’.

Demikian juga tidak boleh ketika gurumu telah menjawab, kemudian engkau mengatakan: ‘kalau pendapat saya seperti ini’. Atau engkau mengatakan: ‘tetapi ulama ini dan itu menjawab tidak seperti jawabanmu’. Atau engkau mengatakan: ‘jika jawaban engkau seperti ini saya akan tulis jawabanmu jika tidak maka saya tidak akan menulisnya’.

Demikian juga tidak boleh bertanya kepada gurunya dalam keadaan berdiri, berjalan, atau ketika gurunya sedang marah, sedih, setres, atau kondisi yang membuat tidak bisa konsentrasi”. (Adabul Fatwa Wal Mufti Wal Mustafti:83)

13. Rihlah ( safar ) untuk menuntut ilmu.

Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Akan datang kepada kalian manusia untuk menuntut ilmu. Maka jika kalian nanti melihatnya, katakanlah kepada mereka: ‘Marhaban-Marhaban (selamat datang) wahai para wasiat Rosulillah’ dan puaskanlah mereka!”. Maka ditanyakan kepada Hakam (Seorang Rowi Hadits) : ‘apa maksud puaskanlah mereka?’ beliau berkata: “Ajarilah mereka”. (H.R Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam Shohih Ibnu Majah:201)

Jabir Bin Abdillah berkata: “Telah sampai kabar kepada saya bahwa ada seorang sahabat telah mendengar hadits dari Rosulillah yang belum pernah saya dengar, maka saya langsung membeli onta dan saya siapkan semua bekal, kemudian saya pergi ke syam dengan menempuh perjalanan selama satu bulan. Setibanya di syam saya langsung menuju rumah orang tersebut, dan rupanya beliau adalah Abdullah Bin Unais Al-Anshori.

Ketika sampai dirumahnya maka saya mengetuk pintu dan keluarlah seseorang, maka saya berkata kepada: ‘Tolong beritahu Abdullah bahwa Jabir ingin bertemu dan menunggu di pintu’. Maka orang tersebut kaget seraya berkata: ‘Anda Jabir Bin Abdillah?’, maka saya berkata: ‘Ya benar’. Kemudian orang tersebut masuk menemui Abdullah, lalu keluarlah Abdullah Bin Unais dan langsung memelukku dan akupun memeluknya, kemudian aku berkata: ‘Saya telah mendengar kabar bahwa engkau mendengar hadits dari Rosulillah tentang Madzolim (kriminal) yang belum pernah aku dengar, dan saya takut jika saya mati lebih dahulu atau engkau meninggal dahulu dan saya belum mendengar hadits tersebut”. (Ar-Rihlah Fi Tolabul Ilmi:110 karya Khotib Al-Baghdadi)

14. Senantiasa menjaga adab-adab dalam mejelis.

Dari Abi Sa’id Al-Khudri berkata: “Suatu ketika Rosulullah berdiri diatas mimbar dan bersabda: “Sesungguhnya perkara yang paling aku takutkan menimpa kepada kalian adalah kenikmatan yang Allah bukakan kepada kalian dari perbendaharaan bumi”, kemudian beliau menyebutkan perhiasan dunia satu persatu. Lalu salah seorang sahabat berdiri dan berkata: ‘Wahai Rosulullah apakah kebaikan bisa mendatangkan kejelekan?’. Maka Rosulullah diam, dan kami berkata: ‘Beliau sedang diberikan wahyu’. Dan semua manusia diam sampai seakan-akan diatas kepala mereka ada seekor burung”. (H.R Bukhori)

Ibnul Ambari berkata: “Perkataan : ‘Manusia duduk diam seakan-akan di atas kepala mereka ada seekor burung’ ada dua makna: yang pertama: bahwasanya mereka diam tidak bergerak dan senantiasa menundukkan pandangan. Karena burung tidak hinggap kecuali di tempat yang diam….”. (Al-Jami’ Li Akhlaqir Rowi Wa Adabis Sami’:1/192/-193)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Apabila engkau menghadiri majlis ilmu, maka janganlah kehadiranmu melainkan untuk menambah ilmu dan pahala, bukannya hadir dengan kesombongan, mencari kesalahan untuk engkau sebarkan atau sesuatu yang ganjil untuk engkau beberkan. Karena ini adalah perbuatan orang-orang yang rendah dan tidak akan beruntung dalam ilmu selama-selamanya”.(Al-Akhlak was Sair fi Mudaawaatin Nafus halaman 92)

15. Mengumpulkan kitab dan gemar dalam membacanya.

Syaikh bakr abu zaid berkata: “Kemuliaan ilmu sudah jelas karena banyak manfaatnya, dan kebutuhan kita kepadanya seperti kebutuhan jasad kita terhadap nafas, dan akan nampak kekurangan seseorang ketika ia kurang dalam ilmunya, begitu juga kebahagiaan dan kesenangan akan diperoleh sesuai dengan jumlah ilmu yang ia dapat. Maka perkara-perkara ini semakin menguatkan kebutuhan para penuntut ilmu untuk belajar, dan meningkatkan kebutuhan kita akan kitab.

Maka dari itu hendaknya engkau kuatkan ilmumu dengan kitab, dan ketahuilah bahwa setiap kitab saling melengkapi sehingga satu kitab tidak akan mencukupi dari yang lainya. Dan hendaknya kamu memilih kitab-kitab yang bermanfaat, tetapi jangan engkau penuhi perpustakaanmu dengan kitab-kitab yang akan mengotori pikiranmu dari kitab-kitab yang tidak bermanfaat apalagi kitab-kitab Ahli Bid’ah, karena ini semua bagaikan racun yang mematikan”. (Hilyah:75-76)


PERKARA YANG HARUS DIJAUHI BAGI PENUNTUT ILMU:

1. Menuntut ilmu bukan karena Allah.

Dari Abu Huroiroh, Rosulullah bersabda: “Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya diniatkan untuk mencari ridho Allah, tetapi ia tidak menuntutnya kecuali karena untuk menggapai kenikmatan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga di hari kiamat”. (H.R Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dishohihkan oleh Hakim dan Dzahabi)

2. Meningalkan amal.

Ali Bin Abi Tholib berkata: “Ilmu senantiasa memanggil amal, jika amal menjawab panggilannya maka ilmu akan diam dan tetap, tetapi jika amal tidak menjawabnya maka ilmu tersebut akan pergi”. (Jami’ Bayanil Ilmi:2/11)

3. Perbuatan dosa dan maksiat.

Abdullah Bin Mas’ud berkata: “Sungguh saya mengira seseorang lupa terhadap ilmu yang pernah ia pelajari disebabkan perbuatan dosa yang ia lakukan”. (Al-Jami’:1/196)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah menjelaskan dalam kitabnya ad-Daa’ wad Dawaa’ bahwa seseorang tidak mendapatkan ilmu disebabkan dosa dan maksiyat yang dilakukannya. Seseorang terhalang dari ilmu yang bermanfaat disebabkan banyak melakukan dosa dan maksiyat.

Seorang Muslim dan Muslimah harus menjauhi dosa-dosa besar, apalagi ia seorang penuntut ilmu, oleh sebab itu kita harus menjauhi dosa dan maksiyat. Dosa yang paling besar adalah syirik, durhaka kepada kedua orang tua, melakukan bid’ah, kemudian menjauhkan dosa-dosa besar seperti muamalah riba dengan berbagai macamnya (di antaranya bunga bank, renten, dsb), minum khamr (minuman keras), narkoba, merokok, mencukur jenggot, makan dan minum dari usaha yang haram, isbal (memanjangkan kain atau celana melebihi mata kaki bagi laki-laki), tabarruj (wanita membuka aurat di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya), durhaka kepada suami, namimah (mengadu domba), dusta (berbohong), ghibah (membicarakan aib seorang Muslim), menggunjing, menuduh seorang Muslim dengan tuduhan yang tidak benar, memfitnah seorang Muslim, dan lain sebagainya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Di antara hal yang sangat mengherankan bahwa ada seseorang yang mudah menjaga dirinya dan berhati-hati dari makan makanan yang haram, berbuat berzina, mencuri, minum khamr, melihat kepada sesuatu yang haram, dan selainnya. Namun, ia sangat sulit untuk menahan gerak lisannya hingga Anda dapat melihat seseorang yang dianggap faham agama, zuhud, dan banyak beribadah, ia berbicara dengan kata-kata yang tanpa sadar dapat mendatangkan murka Allah Ta’ala. Yang dengan satu kalimat darinya ia dimasuk-kan ke dalam Neraka yang dalamnya lebih jauh dari-pada jarak antara timur dan barat.
[ad-Daa’ wad Dawaa’ (hat 244), tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin’ Ali ‘Abdul Hamid.]

Perhatikanlah, sesungguhnya dosa dan maksiyat dapat menghalangi ilmu yang bermanfaat, bahkan dapat mematikan hati, merusak kehidupan, dan mendatangkan siksa Allah Ta’ ala.

4. Belajar hanya mengandalkan buku (Otodidak).

Para ulama sejak dahulu berkata: “Barang siapa yang gurunya adalah kitabnya, maka kesalahannya lebih banyak dari kebenaranya”. (‘Awa’iqut Tholab:26)

5. Menghabiskan waktu tanpa faedah.

Rosullah bersabda: “Diantara tanda kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak ada manfaatnya”. (H.R Tirmidzi dan dihasankan oleh imam Nawawi)

Imam Dzahabi ketika menyebutkan biografi Abdul Wahab Bin Al-Amin berkata: “Sesungguhnya waktu beliau sangat dijaga, maka tidaklah waktunya berjalan kecuali beliau mengisinya dengan bacaan, dzikir, tahajud, atau menyimakan hafalan”.(Ma’rifatul Quro’ Al-Kibar:2/645)

6. Tergesa-gesa untuk mendapatkan hasilnya.

Berkata Al-Ma’mun : “Sugguh sangat aneh ketika ada salah seorang penuntut ilmu belajar cuma tiga hari kemudian berkata: ‘saya adalah termasuk ulama ahli hadits”. (Siyar ‘Alamun Nubala’:10/89)

Ibnu Hamzah berkata: “Imam Ya’qub Bin Sufyan berkata kepadaku : ‘Sungguh saya menuntut ilmu tiga puluh tahun”. (Tadzkirotul Hufadz pada bigrafi Imam Makhhul)

7. Tidak bertahap dalam belajar ilmu.

Allah berfirman: {Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”. Demikianlah (Kami turunkan berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakanya kepadamu secara Tartil (teratur dan benar) }. (Al-Furqon:32)

Imam Az-Zabidi berkata: “Wajib untuk tidak masuk kepada fann (cabang ilmu) kecuali setelah menguasai fann yang sebelumnya”. (‘Awa’iqut Tholab:35)

Imam Ibnu Abdil Bar berkata: “Belajar memiliki derajat, tingkatan, dan urutan. Dan tidak boleh menerjang dan melanggar urutan tersebut, karena hal ini akan menerjang metode para ulama Salaf. Barang siapa menyelisihi metode mereka dengan sengaja pasti ia akan sesat, dan yang menyelisinya karena berijtihad (mengira baik) maka ia akan tergelincir (salah)”. (Al-Jami’:2/166)

8. Sifat sombong dan ujub.

Imam Mujahid berkata: “Tidak akan menuntut ilmu orang yang pemalu dan orang yang sombong”. (H.R Bukhori)

Para ulama berkata: “Ilmu itu ada tiga tingkatan: Siapa yang masuk kepada tingkatan pertama maka ia akan sombong, Siapa yang masuk tingkatan kedua maka ia akan menjadi orang yang tawadhu’, dan Siapa masuk tingkatan ketiga maka pasti ia akan merasa bahwa dirinya belum banyak mengetahui”. (Tadzkirotus Sami’ Wal Mutakalim:65)

Abu ‘Ashim An-Nabil berkata: “Saya duduk di majelis Imam Sufyan Ats-Tsuri. Di majelis tersebut hadir pula seorang pemuda yang pandai, dan pemuda tersebut maju, berbicara, sombong dengan kecerdasanya, dan memperlihatkan ilmu (berlagak seperti orang yang paling pandai) padahal disitu ada orang yang lebih senior. Maka Sufyan marah dan berkata: “Sungguh ulama salaf tidak seperti ini, dahulu mereka tidak menganggap dirinya seperti ulama dan tidak duduk di depan sampai mereka menuntut ilmu tiga puluh tahun. Sedangkan kamu ini orang yang sombong dan merasa tinggi dari orang yang lebih tua (senior) darimu. Berdiri dan menjauh dariku!!, saya tidak mau melihat kamu maju kedepan lagi di majelisku ini”.(Al-Madkhol Ila Susanil Kubro:679 karya Imam Al-Baihaqi)

9. Cinta akan ketenaran dan menampakan dirinya sebagai orang yang berilmu.

Imam Syafi’i berkata: “Saya sangat senang jika manusia mengambil ilmu dariku tetapi mereka tidak pernah menisbatkan ilmu tersebut kepadaku, sehingga Allah memberi pahala kepadaku dan mereka tidak memujiku”. (Al-bidayah Wan Nihayah:5/256 karya Imam Ibnu Katsir)

Syaikh Utsaimin berkata: “Dan perkara yang wajib dijauhi oleh penuntut ilmu adalah sikap menampakan ilmunya sebelum ia menjadi orang yang layak”. (Kitabul Ilmi:81)

10. Sifat hasad (dengki atau iri)

Allah berfirman: {Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhamad) lantara karunia (Kenabian, Al-Qur’an, dan kemenangan) yang Allah berikan kepadanya. Sungguh Kami telah memberikan kitab dan hikmah kepada keluarga ibrohim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar}. (An-Nisa’:54)

Syaikul Islam berkata: “Telah dikatakan bahwa jasad tidak akan luput dari sifat hasad, tetapi orang yang mulia senantiasa menyembunyikannya (menepisnya), sedang orang yang hina adalah orang yang selalu menampakkanya”. (Majmu’ Fatawa:10/124-125)

Syaikh Utsaimin berkata: “Sesungguhnya hasad adalah akhlaq yang tercela, tetapi sangat disayangkan bahwa sifat hasad tersebut ada pada para ulama, penuntut ilmu, dan para saudagar yang kaya. Mereka saling hasad kepada saudaranya, dan setiap orang yang mempunyai profesi hasad kepada rekannya, tetapi yang aneh bahwa sifat ini di kalangan para ulama dan penuntut ilmu lebih banyak dan besar, padahal orang yang berilmu adalah orang yang paling lanyak untuk menjauhi sifat yang tercela ini dan menghiasi diriya dengan akhlaq yang mulia.

Wahai saudaraku jika engkau melihat ada seseorang yang telah diberikan nikmat oleh Allah, maka engkau berusalah untuk menjadi yang serupa dengannya, dan jangan sekali-kali benci terhadap nikmat Allah tersebut, dan hendaklah engkau berdo’a: ‘ya Allah tambahkan nikmatmu kepada dia, dan jadikan aku lebih baik darinya’. Karena sesungguhnya hasad tidak mungkin merubah taqdir Allah”. (Kitabul Ilmi:74)

11. Putus asa dan meremehkan diri sendiri.

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Janganlah kamu putus asa dan gelisah jika Allah belum membukakan ilmu kepada engkau, karena ulama’-ulama’ besar dan masysur pun ada diantara mereka yang tidak dibukakan sebagian cabang ilmu agama. Diantara mereka adalah: Al-Asma’i dalam ilmu Arudh (cabang dari ilmu bahasa arab), Ar-Rohawi seorang ahli hadits dalam ilmu Khoth (kaedah tulisan), Ibnu Sholah dalam ilmu Mantiq (kaidah berargumen), Abu Muslim pakar ulama Nahwu dalam ilmu Shorof, As-Suyuti dalam ilmu Hisab (perhitungan), Abu ‘Ubaidah, Muhammad Bin Abdul Baqi Al-Anshori, Abul Hasan Al-Qothi’I, Abu Zakaria Yahya Bin Ziyad Al-Faro’, Abu Hamid AL-Ghozali mereka semua belum dibukakan ilmu Nahwu”. (Hilyah:58)

Imam Al-‘Askari berkata: “Dahulu hafalan adalah perkara yang paling susah bagiku ketika saya pertama kali menuntut ilmu, kemudian saya paksa diri untuk membiasakanya sampai menjadi mudah bagiku, bahkan aku menghafal Sya’ir Ru’bah dalam satu malam padahal sya’ir ini sekitar 200 bait”. ( Al-Hattsu ‘Ala Tholabil ‘Ilmi:71)

12. Taswif (Berangan-angan belaka dan menunda waktu).

Taswif adalah seseorang bercita-cita sesuatu amal tetapi dia terus menunda-nunda amal tersebut dengan mengatakan “nanti aja lah”

Abdullah bin umar berkata: “Suatu ketika Rosululloh memegang pundak saya, kemudian berkata: “Jadilah engkau hidup di dunia bagikan orang yang asing atau orang yang sedang menyebrangi jalan”. Ibnu umar berkata: “Maksudnya jika engkau di pagi hari jangan menunda amal sampai sore, jika kamu di sore hari jangan menunda amal sampai pagi. Manfaatkan kesehatanmu sebelum sakitmu, dan gunakan hidupmu untuk persiapan matimu”.(H.R Bukhori)

Para ulama salaf berkata: “Taswif termasuk pasukan iblis”. (Iqtidho’ul Ilmi Al-‘Amal:114)

Ibnul Qoyyim berkata: “Sesungguhnya angan-angan belaka adalah modal utama bagi orang-orang yang rugi”. (Madarus Salikin:1/456-457)

13. Ta’assub terhadap salah seorang guru atau golongan.

Syaikh Al-Utsaimin berkata: “Wajib atas penuntut ilmu untuk menghilangkan perkelompokan dan penggolongan dengan mengikat Wala’ (loyalitas) dan Baro’ (berlapas diri) kepada suatu kelompok atau suatu golongan. Hal ini tanpa diragukan merupakan perkara yang menyelisihi manhaj Salaf, karena salaf tidak berkempok-kelompok akan tetapi mereka adalah kelompok yang satu. Mereka berjalan di bawah firman Allah Ta’ala { Dia (Allah) telah menamai kalian semuanya dengan orang-orang muslim dari dahulu } Al-Haj:78. Maka tidak ada penggolongan, pengkotakkan, Wala’, dan Baro’ kecuali dengan apa-apa yang datang dari Rosulullah.

Sebagian orang bergabung dengan suatu golongan, kemudian ia mengokohkan pendapat kelompok tersebut, berdalih dengan dalil-dalil mereka walaupun terkadang dalil tersebut merupakan bantahan terhadap mereka sendiri.

Ia juga membela golongan itu dengan mati-matian, ia sesatkan setiap orang yang menyelihinya dengan menggunakan kaedah ‘Siapa yang tidak bergabung denganku maka ia adalah musuhku’. Sungguh dalam islam ini tidak ada pengelompokan, sehingga ketika terjadi pengkotakan dan perpecahan dalam tubuh kaum muslimin sampai tingkat saling menyesatkan dan mengghibah saudaranya, mereka ditimpa kehancuran sebagai mana Allah berfirman : {Dan taatlah kepada Allah dan RosulNya dan janganlah kalian berbantah-bantahan (bercerai berai) yang menyebabkan kalian menjadi gentar (porak poranda) dan hilang kekuatan kalian } Al-Anfal:46.

Dan kita juga mendapatkan sebagian penuntut ilmu, mereka belajar kepada seorang atau beberapa syaikh, kemudian ia membela syaikh tersebut baik dengan dalil yang benar ataupun batil. Kemudian ia juga membenci, menyesatkan dan membid’ahkan orang-orang yang menyelisihi syaikhnya, dan ia melihat bahwa syaikhnya adalah seorang yang pandai dan yang memperbaiki, sedangkan yang lainnya merupakan orang yang bodoh atau orang yang merusak. Ini semua adalah kesalahan yang fatal, dan yang wajib atas setiap orang untuk mengambil setiap perkatan yang benar dan sesuai dengan Al-Qur’an, Sunah, dan pemahaman para sahabat dari siapapun orangnya”. (Kitabul Ilmi:80-81)

14. Memuji diri dan bangga dengan pujian.

Allah ta’ala berfirman: { Janganlah sekali-kali kalian menyangka bahwa orang yang gembira dengan apa yang tidak mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap pekerjaan yang belum mereka kerjakan, janganlah kalian menyangka bahwa mereka bebas dari siksa, bagi merekalah siksa yang pedih }. (Ali ‘Imron:188)

Allah ta’ala berfirman: {Maka janganlah kalian merekomendasikan (memuji) diri-diri kalian. Diala (Allah) yang paling mengetahui siapakah orang yang bertaqwa}. (An-Najm:32)

Para ulama berkata: “Orang yang berakal adalah orang yang mengetahui kadar dirinya dan tidak terpedaya dengan pujian orang-orang yang tidak mengetahuinya”. (Dzail Thobaqot Hanabilah:1/148)

Abu Bakar As-Siddiq mendengar bahwa orang-orang telah memujinya, maka beliau berkata: “ya Allah sesungguhnya Engkau adalah zat yang lebih mengetahui diriku dari pada aku sendiri, dan saya adalah orang yang lebih mengetahui akan diriku dari pada mereka, maka jadikanlah aku wahai Allah ta’ala orang yang lebih baik dari apa yang mereka kira, dan janganlah Engkau siksa aku karena ucapan mereka, dan ampunilah aku dengan rahmatMu dari apa-apa yang tidak mereka ketahui” (Kitab Az-Zuhud:14 karya Ibnul Mubarok)

15. Tidak berkata tentang sesuatu yang belum diketahui.

Datang seseorang dari negeri Andalus kepada Imam malik Bin Anas untuk menanyakan 42 masalah, tetapi Imam Malik hanya menjawab dua pertanyaan, sedangkan empat puluh pertanyaan beliau cuma berkata: “La Adri” (saya tidak tahu). Maka terheran-heran orang tersebut kemudian berkata: “Kamu itu Imam Malik tetapi kenapa engkau tidak tahu!”. Kemudian beliau berkata: “Beritahu kepada orang-orang di negerimu bahwa Malik tidak mengetahui”. (Ma’alim:273-274)

Al-Qosim Bin Muhamad suatu ketika ditanya, maka beliau menjawab: “Saya tidak tahu”. Kemudian beliau berkata: “Demi Allah jika seandainya seseorang hidup dalam keadaan bodoh asalkan ia mengetahui hak-hak Allah yang wajib ia tunaikan, ini lebih mulia dari pada orang yang berkata tentang apa yang ia tidak mengetahuinya”. ( Jami’ Bayanil Ilmi:2/53)

Ditulis oleh:
THOLIBIL ILMI AL-FAQIR ‘ILA ROHMATILLAH WA ‘AFWIHI
ABUL ABBAS THOBRONI (Pendiri dan Pimpinan Pondok Pesantren Imam Syafi’i, Pekalongan – Jawa Tengah ). Semoga Allah mengampuni dosa-dosa penulis, orang tua, dan karib kerabatnya.

Makalah Dauroh Syar’iyyah dan Tabligh Akbar "TAMASYA KE TAMAN SURGA" Tema "HILYAH THOLIBUL ‘ILMI" Kota Padang, 23 – 25 Maret 2012 oleh Forum Studi Islam Ilmiah Universitas Andalas (Forsil Unand) dengan adanya penambahan.

Publish by : http://www.novieffendi.com

Kitab adalah ibarat nutrisi bagi ruh/jiwa seperti  makanan dan minuman bagi badan, maka setiap kitab yang  membahayakan maka jangan engkau masukkan ke dalam perpustakaan koleksi  pribadimu

 * Kitab-kitab bagi Penuntut Ilmu.

Kitab Aqidah
1. Kitab Tsalaatsatul Ushuul (Tiga landasan Utama).
2. Kitab Al Qowaiaidul Arba' (Empat kaidah).
3. Kitab Kasyfusy Syubuhat (membongkar syubhat).
4. Kitab At Tauhid.

Semuanya adalah tulisan dari Imam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

1. Kitab Al Aqiidah Al Washithiyyah, yang mencakup tauhid Asma' Wa Shifat. Inilah kitab terbaik dan kitab ini amat penting untuk dibaca dan dipelajari (berulang-ulang).
2. Kitab Al Hamawiyah.
3. Kitab Tadmuriyyah. Pembahasan didalam kedua kitab ini lebih luas dibanding Al Aqidah Al Washitiyah.

Ketiga kitab ini ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

1. Kitab Al Aqiidah Ath Thahaawiyyah, karya Syaikh Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad Ath Thahawi rahimahullah.
2. Kitab Syarh Al Aqiidah Ath Thahawiyah karya Abul Hasan 'Ali bin Abil 'Izz rahimahullah.
3. Kitab Ad Durarus Saniyyah fi Ajwaibah An Najdiyyah, karya Syaikh Abdurrahman bin Qosim rahimahullah.
4. Kitab Ad Durratul Mdhiyyah fi 'Aqidatil Al Firqah Al Mardhiyyah, karya Muhammad bin Ahmad As Safarini Al Hambali. Tapi ada beberapa point yang menyimpang dari manhaj salaf dalam kitab ini. Oleh karena itu, perlu penjelasan dari seorang Syaikh yang memahami manhaj salaf dengan benar agar mampu menjelaskan point-point yang menyimpang.

Kitab Hadits

1. Kitab Fathul Baari Syarh Shahiih al Bukhori, karya Ibnu Hajar Al Atsqolani rahimahullah.
2. Kitab Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, karya Ash Shan'ani rahimahullah. Kitab ini memadukan antara kitab hadits dan fiqih.
3. Kitab Nailul Authar Syarh Muntaqaa Al Khbaar, karya Asy Syaukani rahimahullah.
4. Kitab 'Umdatul Ahkam karya Abdul Ghoni Al Maqdisi rahimahullah. Ini adalah kitab yang ringkas dan sebagian besar haditsnya terdapat dalam kitab shahihain (Shahih Al Bukhori dan Muslim) sehingga keshahihannya tidak perlu dibahas.
5. Kitab Arba'in An Nawawiyah, karya Abu Zakariya An Nawawi rahimahullah. Ini adalah kitab yang baik karena didalamnya terkandung adab dan manhaj yang baik serta kaidah-kaidah yang sangat bermanfaat.
6. Kitab Bulughul Maram, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqolani rahimahullah. Ini adalah kitab yang bermanfaat terutama beliau menyebutkan perawi dan menerangkan pula orang yang menshahihkan dan mendhaifkan hadits dan memberi komentar terhadap hadits-hadits itu.
7. Kitab Nukhbatul Fikr karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqolani rahimahullah yang dianggap mencukupi. Bila seorang penuntut ilmu memahaminya secara sempurna maka hal ini akan membuatnya tidak memerlukan kitab lain dalam ilmu mustholah hadits. Ibnu Hajar -rahimahullah- memiliki metode yang baik dalam menyusunnya baik pokok dan terbagi (cabang). Maka seorang penuntut ilmu akan bersemangat jika membacanya karena dibangun berdasar pemikiran, dan saya (Syaikh Al Utsaimin -red) katakan : Amat baik bagi penuntut ilmu untuk menghafalnya karena merupakan ringkasan yang amat bermanfaat dalam ilmu musthalah.
8. Kitab yang enam (Kutubus Sittah) yaitu Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An Nasai, Sunan Abi Daud, Sunan Ibnu Majah, Sunan At Tirmidzi. Saya nasihatkan agar penuntut ilmu banyak membaca kitab-kitab ini karena didalamnya terkandung dua faedah : Pertama, merujuk pada hal yang pokok. Kedua, mengulang-ulang nama-nama perawi dalam ingatannya. Jika engkau mengulang-ulang nama perawi, hampir tidak pernah dalam sanad manapun yang tidak bertemu dengan salah seorang rawi Al Bukhori -misalnya- maka akan lebih dikenal bahwa dia adalah rawi Al Bukhori, dan dia bisa mengambil faedah dalam ilmu hadits ini.

Kitab Fiqih

1. Kitab Aadabul Masyyi Ilaash Shalaah, karya Syaikhul Islam Muhamamd bin Abdul Wahab rahimahullah.
2. Kitab Zaadul Mustaqni' fii Ikhtishaaril Muqni", karya Al Hijawi rahimahullah dan ini adalah sebaik-baik matan dalam ilmu fiqih dan merupakan kitab yang ringkas dan padat. Guru kami telah mengisyaratkan kepada kami untuk menghafalnya, padahal beliau telah menghafal matan Daliiluth Thaalib.
3. Kitab Umdatul Fiqh, karya Imam Ibnu Qodamah rahimahullah.
4. Kitab Faraaidh.
5. Kitab matan Ar Rahabiyyah, karya Ar Rahabi.
6. Kitab matan Al Burhaniyyah, karya Muhammad Al Burhany rahimahullah. Ini adalah kitab yang ringkas, bermanfaat dan mencakup masalah faraaidh. Saya melihat bahwa Al Burhaniyyah lebih baik daripada Ar Rahabiyyah, karena kitab Al Burhaniyyah lebih lengkap.

Kitab Tafsir

1. Kitab Tafsiir Al Quran Al Azhiim, karya Ibnu Katsir rahimahullah. Ini adalah kitab yang bagus dalam masalah tafsir dengan atsar (riwayat), bermanfaat dan aman, namun kandungan Irob dan balaghohnya sedikit.
2. Kitab Taiisirul Kariimir rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannan, karya Syaikh Abdurrahman As Sa'di rahimahullah. Ini adalah kitab yang bagus, mudah difahami dan aman. Saya nasehatkan untuk dibaca.
3. Kitab Muqoddimah Syaikhul Islam fii Tafsiir, dan ini adalah muqoddimah yang penting dan bagus dalam ilmu tafsir.
4. Kitab Adhwaaul Bayaan, karya Al Allamah Muhammad Asy Syinqithi rahimahullah. Ini adalah kitab yang memadukan antara hadits, fiqih, tafsir dan ushul fiqh.

Kitab Umum dan Beberapa Disiplin Ilmu

1. Dalam ilmu nahwu, Kitab Matan Al Aajurumiyyah, ini adalah kitab nahwu yang ringkas dan padat.
2. Dalam ilmu nahwu, Kitab Alfiyah Ibni Malik, ini adalah kitab ringkasan dari ilmu nahwu.
3. Dalam masalah Siroh (perjalanan hidup/sejarah) kitab terbaik yang saya lihat adalah Zaadul Ma'aad karya Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rahimahullah. Kitab ini sangat bermanfaat yang menerangkan sejarah Rosululloh sholallahu alaihi wassalam dalam segala aspek kehidupan, kemudian diterangkan aspek hukumnya.
4. Kitab Raudhatul Uqalaa', karya Imam Ibnu Hibban Al Busti rahimahullah. Meskipun ringkas, kitab ini adalah kitab yang amat berfaedah dan banyak menghimpun pelajaran dari kisah-kisah ulama', Ahli hadits dan yang lainnya.
5. Kitab Siyar 'Alammin Nubalaa', karya Imam Azd Dzahabi rahimahullah. Kitab ini memiliki faedah yang amat banyak dan banyak mengandung pelajaran yang harus dibaca dan dipelajari oleh para penuntut Ilmu.